Kupang (ANTARA) - Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang akan digelar pada 17 April tidak lama lagi akan dilaksanakan.

Masyarakat Indonesia di seluruh pelosok negeri ini akan memilih pemimpin bangsa Indonesia untuk memimpin negara ini lima tahu ke depan.

Euforia pemilu muncul dimana-mana, seperti pemasangan baliho-baliho setiap calon Presiden dan wakilnya serta calon anggota legislatif.

Namun euforia pemilu baik itu pemilihan presiden serta pemilihan anggota legislatif tak terlihat di desa-desa di perbatasan Indonesia dan Republik Demokrat Timor Leste, khususnya di kampung baru di desa Silawan yang ditempati oleh warga eks Timor-Timur (Timtim).

Namun warga eks Timtim yang beranda terdepan NKRI itu merasa sudah tak sabar menanti pesta demokrasi lima tahunan itu.

Mereka di perbatasan justru sudah tak sabar menanti penyelenggaraan pesta demokrasi itu, agar kondisi pemilu di Indonesia seperti saat ini bisa segera berlalu.

Bagi warga eks Timtim, tak peduli siapapun itu calon presiden Indonesia yang akan memimpin negara ini untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

Hal yang mereka harapkan adalah siapa pun pemimpin bangsa ini, mereka yang berada di wilayah perbatasan itu bisa tetap diperhatikan khususnya di sektor infrastruktur serta pembangunan manusianya.

"Kami tak peduli siapa pun itu presidennya, yang kami harapkan adalah kami tetap diperhatikan baik dari sisi pembangunan di perbatasan serta pembangunan manusianya," kata Tokoh Masyarakat desa Silawan Ali M.Q di desa Silawan Kabupaten Belu.

Ali adalah satu-satunya umat Muslim di tengah warga eks Timtim yang beragama Nasrani. Ali mengatakan walaupun dia dan keluarganya satu satunya umat Muslim tetapi toleransi umat beragama warga eks Timtim di desa itu terjaga dengan baik.

Warga eks Timtim duduk di teras rumahnya di desa Silawan Kabupaten Belu. (AntaraNewsNTT/Kornelis Kaha)

Baca juga: Merawat demokrasi di puncak Bromo

Kondisi toleransi umat beragama yang baik ini diharapkan olehnya agar ketika sudah ada keputusan siapa itu presiden yang akan memimpin Indonesia bisa turut menjaga toleransi umat beragama di negara ini yang masih saja tak sejalan dengan Pancasila.

Kondisi serta kehidupan warga perbatasan memang tak seperti orang-orang di perkotaan.Namun jika dibandingkan sejak tahun 2000 pada tahun 2014-an kondisi warga eks Timtim sudah berubah drastis.

Hal ini menurut Ali karena sudah pantas dan layak kawasan perbatasan diperhatikan karena kawasan perbatasan adalah beranda terdepan bangsa ini.

Ali menceritakan saat tahun 1999 dirinya bersama warga eks Timtim bergabung dengan Indonesia dan memilih tinggal di Atambua kondisi di daerah itu sangat memprihatinkan.

Bahkan untuk bisa berbelanja kebutuhan di Kota Atambua saja, masyarakat harus berkendaraan selama kurang lebih tiga sampai empat jam.

Namun saat ini untuk ke Atambua, warga hanya perlu berkendaraan selama kurang lebih 30 sampai 45 menitan.

"Apalagi dengan kendaraan roda dua, 20 menit saja sudah sampai di Kota Atambua," ujar dia.

Tak hanya itu Benediktus Asa seorang tokoh masyarakat di desa itu juga, mengatakan perubahan drastis di daerah itu memang sangat terlihat saat ini.

Perubahan-perubahan itu seperti pembangunan-pembangunan baik di sektor infrastruktur jalan, bendungan untuk pengairan serta yang paling megah adalah pos lintas batas negara (PLBN) di Mota Ain yang menurut warga eks timtim lebih megah dari Timor Leste.

Tak hanya itu pemerintah juga membangun perumahan murah bagi masyarakat di kawasan perbatasan itu yang diberikan kepada warga sekitar.

Namun walaupun begitu, masih banyak warga di desa silawan itu, yang belum mempunyai rumah yang layak huni, seperti yang dimiliki oleh beberapa warga lainnya.

"Itulah seperti yang disampaikan pak Ali. Kami berharap perhatian pemerintah tidak hanya ke sebagian orang saja, tetapi bantuan seperti perumahan diberikan semua kepada masyarakat di sini. Dan itu kami sangat berharap kepada Presiden Indonesia, yang baru nanti. Siapapun itu presidennya kami akan terima," ujar dia.

Baca juga: Belajar tidak golput dari warga Selagolong Gunung Rinjani

Tak Terpengaruh Hoaks

Peredaran informasi jelang Pemilu 2019 semakin marak menyebar di media sosial. Penyebaran itu dilakukan melalui facebook, twitter, instagram serta media sosial lainnya.

Namun warga di daerah perbatasan sepertinya lebih paham mencerna penyebaran informasi di media sosial, apakah itu mengandung hoaks atau tidak.

Ali menilai bahwa hoaks memang merusak tatanan kehidupan masyarakat jika informasi itu tak dicerna secara baik.

Warga eks Timtim duduk di teras rumahnya di desa Silawan Kabupaten Belu. (AntaraNewsNTT/Kornelis Kaha)

"Kami bersyukur bahwa sejauh ini masyarakat di Desa Silawan ini tak terpengaruh dengan berbagai informasi yang bersifat hoaks," ujar dia.

Benediktus Asa mengatakan bahwa masyarakat di desa itu tak peduli dengan berbagai berita yang muncul di media sosial, karena mereka disibukkan dengan aktivitas berkebun.

Menurut dia selama terpisah dari Timor Leste, hidup mereka sudah aman dan damai, oleh karena itu tak ingin terpengaruh dengan berbagai informasi hoaks yang dapat merusak keharmonisan dan ketentraman di desa perbatasan itu.

Presiden Pancasilais

Indonesia adalah negara yang besar. Lahirnya bangsa yang besar ini karena dipersatukan oleh Pancasila.

Bagi beberapa warga eks Timtim yang lebih memilih bergabung dengan Indonesia saat jajak pendapat pata tahun 1999 lalu, mengatakan alasannya lebih memilih Indonesia dibandingkan Timor Leste.

"Kami tahu bangsa ini adalah bangsa yang besar, kemudian dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi bangsa yang hebat, oleh karena itu kami memilih bergabung dengan Indonesia," salah seorang Intelektual dari Kabupaten Belu Helio Caetano Moniz.

Moniz adalah warga eks Timor Timur yang memilih bergabung dengan Indonesia saat jajak pendapat pada 1999. Saat ini dia berprofesi sebagai seorang pengacara di Kabupaten Belu.

Ia bersama warga eks Timor Timur memilih bergabung dengan Indonesia, karena bangsa ini adalah bangsa besar yang didirikan dengan satu pondasi yang kuat yakni pondasi Pancasila yang terbungkus dalam semboyan NKRI Harga Mati.

Saat ini menurut dia Indonesia sedang diganggu oleh kelompok-kelompok orang yang ingin memecah belah bangsa Indonesia.

Bahkan kata dia berbagai konflik yang terjadi selama ini mulai dari dalam isu agama, serta terorisme adalah ulah dari orang-orang yang tak melihat bangsa sebesar Indonesia ini hidup rukun dan makmur.

"Oleh karena itu kami harapkan seorang Presiden yang berjiwa Pancasila, yang bisa membawa bangsa ini dalam rangkulan Bhineka Tunggal Ika," ujar dia.

Menurut Moniz warga eks Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia, selama ini sudah trauma dengan berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun 1995-an dimana saat itu banyak keluarga yang meninggal akibat perang jajak pendapat.

"Kami warga eks Timtim sudah trauma dengan kejadian yang menimpa kami pada tahun-tahun yang kelam, oleh karena itu kami membutuhkan pemimpin yang memang bisa membawa bangsa ini tetap aman dan damai," ujar dia.

Oleh karena itu, kata dia, jika ada kelompok yang cenderung membuat Indonesia menjadi tunggal dan tidak beragam, tidak Bhineka Tunggal Ika serta tidak Pancasilais, maka warga di perbatasan itu sudah sepakat untuk menolaknya.

"Saat ini banyak sekali warga baru atau warga eks Timtim yang menyadari bahwa Pemilu 2019 kali ini memunculkan hal-hal yang dibuat kelompok-kelompok tertentu untuk memecah bela bangsa agar tak sejalan dengan Pancasila," katanya.

Baca juga: Pemilu; kalau di luar panas, Osing adem ayem

Baca juga: Warga eks Timtim di NTT 104.436 orang

Baca juga: Warga eks Tim-tim ingin bertemu Jokowi

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019