Selama tahun 2018 terdapat tiga faktor global yang menekan nilai tukar rupiah. Namun di tahun 2019 ini, satu dari tiga faktor global yang menekan nilai tukar rupiah tersebut, sudah menemukan titik terang

Yogyakarta (ANTARA) - Bank Indonesia (BI) memandang semakin terkikisnya ketidakpastian ekonomi global karena gambaran utuh dari melunaknya (dovish) kebijakan Bank Sentral AS, The Federal Reserve, akan mengalirkan arus modal asing ke domestik yang turut memicu penguatan nilai tukar rupiah di sisa tahun ini.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan salah satu tekanan terbesar ketidakpastian ekonomi global yakni normalisasi kebijakan moneter Bank Sentral AS kini sudah mereda.

Tekanan ekonomi global ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia, kini bersumber dari perang dagang antara dua negara adidaya Amerika Serikat dan China serta dinamika Brexit.

"Selama tahun 2018 terdapat tiga faktor global yang menekan nilai tukar rupiah. Namun di tahun 2019 ini, satu dari tiga faktor global yang menekan nilai tukar rupiah tersebut, sudah menemukan titik terang," kata Nanang.

Sumber tekanan yang mereda itu adalah prospek kebijakan suku bunga The Fed. Pasalnya, Pada Rabu (20/3) malam waktu setempat, The Fed mempertahankan suku bunga acuan pada 2,25 - 2,5 persen atau median 2,375 persen.

Penetapan suku bunga itu menguatkan ekspetasi pelaku pasar untuk kebijakan yang lebih melunak (dovish). The Fed juga mengubah sinyalemen untuk arah kebijakan suku bunga dalam jangka menengah, yang menyiratkan jumlah kenaikan suku bunga acuan yang lebih rendah dalam dua tahun ke depan.

"Dari tiga faktor ini, setidaknya di tahun 2019 ini satu hal sudah lebih jelas. Seperti hasil FOMC [The Federal Open Market Committee] di tanggal 21 Maret, memberi sinyal semakin jelas bahwa mereka tidak akan menaikkan suku bunga, setidaknya untuk tahun 2019 ini. Artinya, satu faktor global itu sudah jelas akan memberikan dukungan terhadap stabilitas rupiah," ujar Nanang.

Itu menjadi salah satu alasan mengapa Otoritas Moneter optimistis nilai tukar rupiah masih akan terus menguat. Tingkat volatilitas rupiah diyakini BI akan lebih rendah dibanding 2018. Sehingga diharapkan akan memberikan iklim usaha yang lebih kondusif dan terjaganya stabilitas perekonomian.

Namun, arah kebijakan BI untuk suku bunga acuan masih dipertahankan untuk menjaga stabilitas dari tekanan eksternal.

Nanang menyebut tekanan eksternal bisa saja bertambah di tahun ini. Bank Sentral perlu mewaspadai dinamika ekonomi global yang bisa memberikan efek rambatan terhadap negara berkembang seperti dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara maju, yakni Amerika Serikat, China, Jerman, dan Prancis.

"Memang ada faktor lain yang muncul yaitu situasi ekonomi global yang belakangan semakin melemah atau merosot. Tapi berdasarkan beberapa referensi itu akan bangkit di akhir tahun 2019," ujarnya.

Dari dalam negeri, optimisme BI terhadap penguatan nilai tukar rupiah semakin kuat karena beberapa parameter fundamental perekonomian.

Nanang menyebutkan banyak indikator perekonomian dalam negeri positif, misalnya saja pertumbuhan ekonomi yang tetap terjaga dan inflasi yang rendah.

"Di domestik juga seharusnya memberikan dukungan. Pertama inflasi, inflasi kita di bawah tiga persen. Inflasi inti kita di bawah tiga persen itu cukup lama. Kedua pertumbuhan ekonominya juga tetap stabil di atas lima persen," ujar dia.

Di akhir tahun, Nanang meyakini target penurunan defisit transaksi berjalan menjadi 2,5 persen PDB bisa tercapai. Pada 2018, defisit transaksi berjalan mencapai 2,98 persen PDB.

"Jadi di tahun ini dari sisi stabilitas kurs akan lebih baik dari tahun 2018. Secara fundamental stabilitas di tahun 2019 lebih baik," ujarnya.

Baca juga: BI : Sejak awal tahun, bank bisa agresif kucurkan kredit
Baca juga: BI yakin bunga The Fed hanya naik sekali pada 2019-2020
Baca juga: BI kembali pertahankan suku bunga acuan enam persen

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019