Jambi (ANTARA) - Warga Suku Anak Dalam Batin Sembilan tinggal di sembilan batang sungai yang terhubung dengan Sungai Batanghari di Provinsi Jambi.

Suku Anak Dalam (SAD) yang menurut cerita turun temurun berasal dari sembilan saudara yang dipisahkan karena berselisih itu menghuni kawasan Batang Sungai Jebak, Bahar, Bulian, Selisak, Sekamis, Jangga, Burung Antu, Pemusiran dan Singoan.

"Kami warga SAD Batin Sembilan ini bersaudara, di setiap wilayah batang sungai tersebut memiliki pemimpin, ada yang disebut temenggung, ketua adat dan lain-lain," kata Ketua Adat Warga SAD Batang Sungai Bahar, Datuk Kutar.

Bersama warga SAD lain yang telah menetap, Datuk Kutar tinggal di daerah Batang Sungai Bahar di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, 100 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten Batanghari, sekitar tiga jam perjalanan menggunakan kendaraan beroda dua.

Perjalanan dari ibu kota Kabupaten Batanghari di Kecamatan Muara Bulian menuju permukiman warga SAD di Desa Bungku melewati Desa Kilangan, Singkawang, Mekar Jaya, dan Pompa Air. Jalannya ada yang beraspal maupun berbeton, namun sebagian besar sudah rusak dan berlubang.

Sesampainya di Dusun Johor Baru, Desa Bungku, ada jalan tanah dengan lebar tak lebih dari satu meter yang saat hujan sulit dilewati kendaraan menuju pemukiman warga SAD.

Di daerah itu, warga SAD yang sudah menetap membangun rumah panggung dengan dinding berbahan belahan bambu dan atap nipah. Lantai rumah mereka juga dari bambu.

Setiap rumah biasanya dihuni oleh satu keluarga. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya 20 sampai 30 meter, bahkan ada yang lebih jauh.

Sedang warga SAD yang hidupnya nomaden tinggal tak jauh dari mereka, berteduh di bangunan dari kayu dan bambu beratap terpal.

Rumah-rumah di permukiman Suku Anak Dalam. (Muhammad Hanapi)

Orang-orang SAD tinggal di hutan dan memanfaatkan apa yang ada di alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk berburu binatang dan memancing ikan di sungai untuk makan.
Seiring waktu, mereka beradaptasi dengan dunia luar. Kalau dulu mereka hanya menggunakan tombak untuk berburu, kini sebagian sudah menggunakan senjata api rakitan. Mereka menyebutnya "kecepek".

Warga SAD sekarang juga sudah ada yang memiliki kendaraan beroda dua dan beroda empat.

Kalau dulu mereka sama sekali tidak bisa baca tulis, kini anak-anak warga SAD sebagian sudah mengenyam pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Meski demikian masih ada di antara mereka yang memegang teguh adat istiadat, dan belum mau menerima modernisasi.


Hak Memilih

Menurut Datuk Kutar, ada sekitar tiga ribu warga SAD Batin Sembilan yang tersebar di sembilan batang sungai yang terhubung dengan Sungai Batanghari.

Ia menekankan bahwa warga SAD juga warga negara Indonesia. Warga SAD Batin Sembilan sebagian sudah berusaha beradaptasi dengan peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku umum, meski masih ada yang berpegang pada adat dan aturan suku, yang beberapa di antaranya tidak selaras dengan ketentuan pemerintah.

Sebagai bagian dari warga negara, komunitas SAD Batin Sembilan menuntut hak yang sama dengan warga negara yang lain.

"Seperti pemilihan umum, kami juga ingin memiliki hak suara dalam pemilihan tersebut," kata Datuk Kutar.

"Keluarga besar saya ini ada yang sudah punya hak pilih. Mereka akan datang ke TPS, namun ada juga yang tidak dapat undangan, mereka tentu tak akan mencoblos," katanya.

Namun warga SAD yang layak memilih tidak semuanya bisa menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum tahun ini. Masalahnya, sebagian dari mereka belum punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik.

Warga SAD masih ada yang berpegang teguh pada ketentuan adat yang tidak memperbolehkan perempuan difoto, sehingga tidak bisa memenuhi persyaratan untuk mendapatkan dokumen kependudukan tersebut.

Di samping itu, warga SAD lain yang telah berusaha menyesuaikan diri dengan aturan-aturan pembuatan dokumen kependudukan juga ada yang gagal mendapat KTP elektronik.

Datuk Kutar menjelaskan, petugas pemerintah sudah pernah datang ke Desa Bungku untuk merekam data kependudukan warga SAD selama tiga hari.

Tapi, ia melanjutkan, sejumlah warga fotonya tidak bisa digunakan, sehingga dianjurkan untuk melakukan perekaman data ulang di kantor kecamatan dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat.

Sayangnya, sebagian dari mereka tidak bisa menjalani perekaman data ulang karena jarak kantor kecamatan dan dinas dengan permukiman warga SAD cukup jauh sementara mereka tidak punya kendaraan untuk menuju ke sana.

Usup Meking, seorang warga SAD Batin Sembilan, saat ini hanya memiliki KTP jenis lama. Dia sudah mengikuti perekaman data untuk mendapatkan KTP elektronik, tapi fotonya "mutung", tidak bisa digunakan.

Akibatnya, sampai sekarang dia belum punya KTP elektronik, sehingga kemungkinan besar tidak bisa menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum April.

"Saya sekeluarga yang sudah bisa ikut serta pemilihan itu ada empat orang, kemarin sudah lakukan perekaman KTP tapi belum dapat KTP-nya," kata Usup Meking.

Selain itu, ada kendala lain bagi warga SAD untuk mengikuti proses pemilihan umum.

Surat suara untuk pemilihan anggota legislatif nantinya tidak akan memuat foto calon, hanya mencantumkan nomor urut partai, nomor urut calon dan nama calon. Padahal sebagian besar warga SAD yang memenuhi syarat untuk menjadi pemilih tidak bisa baca tulis.

"Sebagian besar warga saya tidak bisa baca tulis. Bila ada foto, kami bisa lihat foto itu," kata Datuk Kutar.

Warga SAD Batin Sembilan di Desa Bungku berharap ada petugas pemilihan umum yang memberi mereka informasi mengenai seluk beluk tahapan pemilihan serta para pesertanya.

Pada saat pemungutan suara, mereka juga berharap ada petugas yang memberi tahu tata cara memilih supaya 150 warga SAD di Bungku bisa menggunakan hak pilih mereka secara benar dalam pemilihan umum April 2019.

Di permukiman warga SAD Batin Sembilan di Desa Bungku, pemilih tersebar di beberapa dusun dan Rukun Tetangga (RT).

"Yang cukup padat warga kami itu berada di RT 33 dan RT 34, Dusun Johor Baru," kata Datuk Kutar.

Di dua RT tersebut ada 60 keluarga yang terdiri atas sekitar 80 orang. Sisanya berada di lingkungan RT lain, yang hanya terdiri atas lima sampai enam keluarga.

Kepala Divisi Perencanaan Program dan Data Komisi Pemilihan Umum Batanghari Apri menyatakan sebagian warga SAD sudah masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2019.

Namun Komisi Pemilihan Umum kesulitan mendata jumlah keseluruhan warga SAD yang sudah masuk DPT karena sebagian di antaranya telah hidup membaur dengan warga setempat, menetap dan menikah dengan warga setempat.

"Karena telah membaur sehingga sulit untuk mendata warga SAD yang telah masuk ke dalam DPT itu," kata Apri.

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Batanghari menyatakan telah merekam data kependudukan warga SAD yang telah menetap dan hidup membaur dengan masyarakat setempat, termasuk warga SAD yang berada di Desa Singkawang, Padang Kelapo dan wilayah PT IKU di Desa Singoan.

Komisi Pemilihan Umum menyatakan tidak melakukan persiapan khusus untuk melayani warga SAD yang sudah hidup membaur dengan warga setempat dan bisa menggunakan hak pilih mereka. Pemungutan suara akan dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang ditetapkan.

Sebagaimana pemilih lainnya, warga SAD yang sudah membaur dengan warga setempat bisa menggunakan hak pilih di tempat-tempat pemungutan suara yang telah ditetapkan bagi pemilih di lingkungan tempat tinggal mereka.

Baca juga: Suara dari Kampung Naga

Seorang perempuan warga SAD. (ANTARA/Syarif Abdullah)

Belum Masuk Daftar

Apri mengatakan bahwa belum semua warga SAD masuk dalam DPT untuk Pemilu 2019.

"Warga SAD yang tidak terdaftar dalam DPT tersebut tersebar di beberapa wilayah," kata Apri.

Menurut dia, warga SAD yang belum masuk dalam DPT di antaranya ada di Desa Sungai Lingkar, Batu Sawar, dan Padang Kelapo di Kecamatan Maro Sebo Ulu; serta Desa Bungku di Kecamatan Bajubang.

Jumlah warga SAD yang belum masuk DPT di Sungai Lingkar ada 449 orang, dan di Batu Sawar ada 65 orang. Sementara di Padang Kelapo dan Bungku, jumlah warga SAD yang belum masuk DPT tercatat berturut-turut 25 orang dan 49 orang.

Mereka tidak bisa berpartisipasi dalam pemilihan umum karena tidak memiliki KTP elektronik.

Sebagian besar warga SAD masih hidup "melangun", berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, sehingga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil harus melakukan upaya ekstra untuk mendata mereka.

Dalam hal ini dinas menerapkan perlakuan khusus sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 2010 tentang Pedoman Pendataan dan Penerbitan Dokumen Kependudukan bagi Penduduk Rentan Administrasi Kependudukan

Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Batanghari Ade Febriandi menjelaskan bahwa menurut ketentuan itu Komunitas Anak Terpencil (KAT), termasuk warga SAD, bisa mendapatkan KTP elektronik jika telah menetap di suatu daerah selama enam bulan.

Dalam upaya memberikan pelayanan kependudukan kepada mereka, dinas melakukan dua tahapan pencatatan data.

Pertama, dinas mencatat data kelompok SAD yang menetap di suatu daerah selama tiga bulan. Kepada warga SAD yang sudah tiga bulan menetap di suatu daerah, dinas memberikan Kartu Tanda Komunitas (KTK).

Selanjutnya, dinas mencatat warga SAD yang masih menetap di daerah yang sama tiga bulan kemudian. Dinas akan melakukan perekaman data kependudukan untuk memberi mereka KTP elektronik setelah mereka menyerahkan surat domisili dan surat pengantar dari desa setempat.

"Sementara warga SAD yang hidupnya masih nomaden biasanya tidak sampai enam bulan sudah berpindah, bahkan ada yang tidak sampai tiga bulan sudah berpindah ke daerah lain," kata Ade.

Selain masalah itu, ia melanjutkan, pencatatan data kependudukan di kalangan warga SAD juga terbentur dengan aturan adat yang mereka pegang kukuh.

"Dalam memenuhi elemen (pendataan) kependudukan, banyak yang bertolak belakang dengan kebiasaan adat warga SAD itu sendiri," katanya.

Ia mencontohkan, dalam pengisian data untuk Kartu Keluarga (KK), warga harus mengisi data nama orangtua, tempat dan tanggal lahir, serta tanggal nikah bagi mereka yang sudah menikah.

Sementara di kalangan warga SAD ada yang melarang penyebutan nama orangtua, ada pula yang tidak mengetahui tempat dan tanggal kelahiran serta pernikahan.

Warga SAD sebagian juga masih melarang keras kaum perempuan mereka difoto, padahal pengambilan foto diri merupakan bagian dari perekaman data untuk memperoleh KTP elektronik.

Nyenong, satu dari empat temenggung warga SAD yang bermukim di wilayah Sungai Terap, Kecamatan Batin XXIV, mengatakan perempuan dalam kelompoknya tidak boleh difoto. Menurut adat mereka, kaum perempuan tidak boleh terekspos ke dunia luar.

"Kalau wanita tidak boleh difoto, kalau buat KTP tidak difoto kaum wanita boleh membuat KTP," kata Temenggung Nyenong.

Baca juga: Pengawal pemilu raya di Kampung Laut

Semangat Memilih

Terlepas dari masalah dan kendala yang mereka hadapi, beberapa warga SAD tetap bersemangat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum.

Usup Meking usianya sudah lanjut, belum punya KTP elektronik, dan kurang paham mengenai siapa calon presiden maupun anggota legislatif yang bisa dipilih, tapi dia bersemangat mengikuti pemungutan suara tahun ini.

"Ini KTP saya, ini KTP perempuan (istri) saya, dan ini KTP anak saya. Sudah punya KTP meski jenis lama, yang baru saya sudah direkam juga," kata Usup Meking, menunjukkan kartu-kartu identitas anggota keluarganya.

Usup Meking bisa menggunakan hak pilihnya pada pemilihan umum tahun 2014. Ketika itu, meski sempat sesak nafas sebelum pemungutan suara berlangsung, dia tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara di Desa Bungku dan menggunakan hak pilih.

Tahun ini, dia belum menerima undangan untuk mengikuti pemungutan suara.

"Mudah-mudahan saja nanti Pemilu juga saya bisa berangkat," katanya, lalu tertawa.

"Asalkan ada gambar dan namanya ya saya pilih," kata Usup Meking, yang tinggal bersama keluarganya di rumah yang dibangun dari bambu dan kayu dengan atap terpal.

Seperti Usup Meking, Menti berharap bisa menggunakan hak pilih pada April 2019 meski sampai sekarang juga belum punya KTP elektronik.

Menti punya KTP model lama, dan berharap pemerintah bisa mengupayakan dia dan warga yang senasib dengannya mendapatkan KTP elektronik, termasuk perempuan SAD yang kelompoknya sudah mengizinkan mereka dipotret.

Menti menyatakan bahwa dia dan sebagian warganya telah memenuhi syarat mendapatkan dokumen kependudukan yang dibutuhkan untuk mengikuti pemilihan umum.

"Kami memang berpindah-pindah, namun kami masih berada di dalam satu kawasan," katanya.

Menti ingin bisa ikut merasakan pesta demokrasi lima tahunan sebagaimana warga negara Indonesia yang lain.

Orang-orang dalam komunitas adat terpencil lain yang masih hidup di dalam rimba pun mungkin punya keinginan yang sama jika ada yang mau datang dan menanya mereka.

Baca juga:
41 keluarga Suku Anak Dalam Jambi kini bisa nikmati listrik
Mensos resmikan rumah Suku Anak Dalam

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019