Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Direktur PT Sentral Fillindo Eman Rahman, rekanan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kasus pengadaan "Automatic Fingerprint Identification System" (AFIS) selama lima tahun penjara karena dakwaan merugikan keuangan negara senilai Rp6,4 miliar. Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Rabu, JPU menilai bahwa Eman telah melanggar hukum sesuai pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) kesatu KUHPidana. Selain dituntut pidana penjara selama lima tahun dikurangi masa tahanan, JPU KPK juga meminta majelis hakim menghukum terdakwa membayar denda senilai Rp250 juta subsider kurungan enam bulan. Erman juga dituntut untuk membayar ganti kerugian negara Rp3,976 miliar, dan bila dalam waktu satu tahun setelah adanya ketetapan hukum tidak dibayar, maka akan dipidana dua tahun penjara. "Terdakwa terbukti melakukan korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dalam pengadaan alat pembaca sidik jari otomatis dengan nilai kontrak sebesar Rp18,5 miliar," kata JPU KPK, I kadek Wiradana. Ia memaparkan, proses pengadaan barang pada 2004 tersebut tidak sesuai dengan Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah karena dilakukan penunjukkan langsung. "PT Sentral Fillindo pun ternyata tidak memiliki angka pengenal impor sehingga tidak layak melakukan pengadaan barang tersebut," paparnya. Pada 11 Oktober 2004 Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Zulkarnain Yunus dan Kepala Bagian Perlengkapan Depkumham Afendi melakukan rapat dengan sejumlah pejabat terkait di ditjen tersebut salah satunya membicarakan pengadaan alat Automatic Fingerprint Identification System (AFIS) dengan anggaran Rp18,4 miliar. Zulkarnain menyetujui usulan tersebut serta menambahkan alasan bahwa dalam waktu dekat akan terjadi pergantian menteri. Afendi kemudian membuat memorandum kepada Zulkarnain Yunus yang isinya tentang penunjukan langsung PT Sentral Fillindo, sebagai pelaksana proyek Setelah usulan proyek itu mendapat persetujuan dari menteri Depkum dan HAM , Zulkarnain Yunus memerintahkan Afendi untuk menunjuk PT Sentral Filindo sebagai pelaksana proyek, padahal surat persetujuan dari menteri tidak menyebutkan secara spesifik nama perusahaan dan pola pengadaannya. "Terdakwa Erman memiliki niat untuk ikut dalam pengadaan tersebut setelah sebelumnya membawa surat penawaran dengan dokumen yang ada serta harga yang sama seperti anggaran pengadaan," kata JPU. Dari nilai proyek sebesar Rp18,4 miliar setelah dipotong pajak maka PT Sentral Fillindo dalam hal ini Eman Rahman menerima pembayaran sebesar Rp16,548 miliar. Dari jumlah itu menurut JPU sebesar Rp9,6 miliar dibayarkan pada perusahaan pembuat AFIS, Dermalog dari Jerman. "Kemudian Zulkarnain Yunus menerima Rp130 juta, Afendi menerima Rp375 juta dan Gunawan menerima Rp750 juta. Sehingga Rp5,166 miliar dinikmati oleh terdakwa," kata JPU. Akibat perbuatan itu negara dirugikan sebesar Rp6,4 miliar akibat selisih dari anggaran yang dikeluarkan kas negara dan jumlah yang dibayarkan kepada Dermalog Jerman.Terdakwa Eman Rahman ketika dimintai komentarnya atas tuntutan JPU penjara selama lima tahun enggan memberikan keterangan usai persidangan. Sementara itu, penasehat hukum terdakwan, Umbu Samapati, mengatakan bahwa tuntutan JPU tidak didasari fakta hukum yang ada. "Dalam hal ini tidak ada kerugian negara menurut pendapat kami. Dari pembayaran nilai proyek sebesar Rp16,548 miliar yang diterima setelah potong pajak, sekitar Rp10 miliar sudah dibayarkan ke Dermalog," katanya. Dari sisa sebesar sekitar Rp6 miliar, masih menurut Umbu, Sentral Fillindo masih harus menyelesaikan pembayaran sebesar Rp4 miliar pada Dermalog untuk komponen proyek manajemen dan asuransi. "Sisa sekitar Rp2 miliar menurut kami adalah hal yang wajar sebagai keuntungan sebuah perusahaan swasta," tegasnya. Majelis hakim yang diketuai oleh Moerdiono akan melanjutkan persidangan pada Rabu (31/10) dengan agenda mendengarkan pledoi dari penasehat hukum dan terdakwa. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007