"Luas lahan tebu di Purbalingga pada tahun 2000-an mencapai 1.600 hektare, tapi secara bertahap menurun dan sekarang sekitar 200 hektare yang tersebar di Kecamatan Kemangkon, Pengadegan, dan Kaligondang," katanya di Purbalingga.
Ia mengatakan saat lahannya masih luas, tebu yang dihasilkan petani Purbalingga digiling di Pabrik Gula Sumberharjo Pemalang, namun sekarang sudah tutup.
Selain itu, ada pula tebu yang dijual ke Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta, Pabrik Gula Cirebon, dan Pabrik Gula Sragi Pekalongan karena Purbalingga tidak memiliki pabrik gula.
"Dulu memang ada Pabrik Gula Kalibagor di Banyumas (pabrik gula terdekat dengan Purbalingga, red.) namun rendemennya sangat rendah karena pabriknya sudah sangat tua sehingga keuntungan petani minim. Kemudian kita menggilingkan di Sumberharjo, rendemennya pernah 8 persen, artinya 1 kuintal tebu itu menjadi 8 kilogram gula sehingga cukup menguntungkan petani," katanya.
Oleh karena banyaknya pabrik gula yang tutup dan adanya impor gula, kata dia, tebu yang dihasilkan petani Purbalingga harus dijual ke Madukismo maupun Sragi sehingga biaya angkut meningkat dan keuntungan yang diperoleh petani menjadi berkurang.
Dengan demikian, lanjut dia, banyak petani yang mengubah lahan tebunya menjadi sawah tadah hujan untuk ditanami padi.
Lebih lanjut, Lily mengatakan jika beberapa waktu lalu ada sejumlah investor yang berniat mendirikan pabrik gula di Purbalingga.
"Namun ternyata tidak ada tindak lanjut. Kalau ada investor (yang membuka pabrik gula di Purbalingga) tentunya akan menekan biaya angkut, sehingga pendapatan yang diperoleh petani akan lebih tinggi," katanya.
Baca juga: Dirjen: budidaya cabe-bawang Purbalingga layak ditiru
Baca juga: Purbalingga kembangkan padi hasil rekayasa teknologi nuklir BATAN
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019