Jakarta (ANTARA) - Sejumlah pegiat pemilu yang mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) terkait dengan aturan penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), melakukan sejumlah perbaikan dalam permohonannya.
"Perbaikan-perbaikan yang kami lakukan ada beberapa poin yang pertama adalah masalah judul perkara," ujar kuasa hukum para pemohon M Raziv, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu.
Terkait dengan judul perkara, Raziv menjelaskan pihaknya telah menghapus judul perkara tersebut, dan dimasukkan sebagai bagian di dalam posita.
"Sesuai dengan arahan majelis hakim, kami juga telah mempertajam kedudukan hukum para pemohon," ujar Raziv.
Sedangkan mengenai permohonan kepada Mahkamah untuk memeriksa dan memutus perkara dengan segera, para pemohon juga telah melengkapi permohonannya dengan alasan yang disesuaikan dengan hukum acara, sesuai dengan pasal 54 UU MK.
"Percepatan ini dilakukan agar memberikan kejelasan sebelum hari pemungutan suara pada 17 April 2019," kata Raziv.
Pemohon meminta perkara ini untuk segera diputuskan, sehingga hasil putusan apabila dikabulkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh penyelenggara pemilu dan masyarakat yang memiliki hak pilih dapat merasakan dampak baik dari putusan ini.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor: 20/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Aggraini, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, serta pengamat hukum tata negara dan politik dari Universitas Andalas Feri Amsari. Selain itu terdapat empat perseorangan warga negara yang turut menjadi pemohon dalam perkara ini, yaitu Augus Hendy, A Murogi bin Sabar, Muhamad Nurul Huda, dan Sutrisno.
Para pemohon merasa hak konstitusionalnya untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2019 berpotensi dirugikan dengan berlaku pasal 210 ayat (1), pasal 348 ayat (4), ayat (9), pasal 350 ayat (2), pasal 383 ayat (2) UU 7/2017 (UU Pemilu).
Pasal yang diuji tersebut adalah ketentuan yang secara prosedur administratif dinilai pemohon telah menghambat, menghalangi, dan mempersulit warga negara untuk menggunakan hak dalam pemilu.
Pemohon dalam dalilnya menyebutkan masih banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara, tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik.
Syarat KTP elektronik juga dinilai para pemohon berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, serta beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019