Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi yang dikeluarkan 22 Oktober 2007 membatalkan putusan pailit PT Dirgantara Indonesia (DI). Meski demikian, ketua majelis hakim agung yang memutus perkara tersebut, Mariana Sutadi, di Gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan masih terbuka kemungkinan bagi mantan karyawan PT DI untuk menuntut hak pesangonnya melalui mekanisme gugatan lain. "Masih terbuka lebar pintu untuk gugatan, bisa melalui perdata. Tetapi, yang paling baik adalah melalui mediasi," ujarnya. Berlawanan dengan pertimbangan hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memailitkan PT DI pada 4 September 2007, MA menyatakan mantan karyawan PT DI sebagai pemohon pailit tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat pailit PT DI. Meski PT DI adalah BUMN berbentuk persero yang modalnya terbagi atas saham, namun menurut MA, saham PT DI seluruhnya dimiliki oleh negara yang diwakili oleh Meneg BUMN dan Menteri Keuangan. "Karena itu, yang berhak menggugat pailit hanya Menteri Keuangan," ujar Mariana. Putusan MA yang mengabulkan permohonan kasasi dari PT DI itu sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat yang memailitkan PT DI. Pertimbangan MA, menurut Mariana, ditambah oleh adanya surat keterangan dari Menteri Perindustrian bahwa PT DI bersama dengan beberapa BUMN lainnya seperti Krakatau Steel adalah obyek industri vital negara. Mariana menjelaskan dengan adanya putusan MA itu, maka semua aktivitas penilaian aset PT DI yang kini tengah dilakukan oleh kurator dan rapat-rapat kreditor dihentikan. Ia menegaskan MA baru memeriksa kedudukan hukum para pemohon pailit dan belum masuk pada substansi permohonan. "Untuk apa diperiksa substansinya apabila kedudukan hukumnya saja tidak terpenuhi. Karena itu, bunyi keputusannya mengabulkan permohonan kasasi PT DI tanpa memeriksa materi," katanya. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 4 September 2007 menyatakan pailit PT Dirgantara Indonesia (DI), karena terbukti memiliki utang kepada lebih dari dua kreditur yang belum terbayar. Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menilai, PT DI belum melaksanakan butir ketiga putusan P4P tertanggal 29 Januari 2004, yaitu bahwa PT DI harus membayarkan kompensasi dana pensiun dan tunjangan hari tua sesuai dengan perhitungan gaji pokok terakhir, senilai Rp200 miliar kepada 6.500 mantan karyawan mereka. PT DI, oleh pengadilan tingkat pertama, dinyatakan telah memenuhi kualifikasi untuk dipailitkan seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yaitu termohon memiliki utang kepada dua kreditur atau lebih yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Putusan kasasi MA yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama itu diambil pada 22 Oktober 2007 secara bulat oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai Mariana Sutadi serta beranggotakan Atja Sondjaya dan Abdul Kadir Mappong. (*)
Copyright © ANTARA 2007
Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia?
David
(0274)9345675