Jakarta (ANTARA) - Kualifikasi kompetisi sepak bola antarnegara paling menarik setelah Piala Dunia, Euro 2020, mulai digelar 21 Maret esok.
Dari semua itu, di antara yang ditunggu banyak orang adalah menanti kiprah Jerman atau akan seperti apakah Jerman selama turnamen ini karena Jerman yang sekarang beda dengan Jerman yang dulu.
Sekitar dua tahun lalu, Jerman tersingkir secara memalukan dari Piala Dunia 2018. Bukan di final atau semifinal, tapi lebih mengerikan lagi dari itu, di fase grup! Itu pengalaman terburuk Jerman sejak 1938.
Masih diasuh Joachim Loew, Jerman akan langsung menghadapi lawan kuat di Grup C, Belanda, pada babak kualifikasi Euro 25 Maret nanti. Empat hari sebelum itu Jerman menguji kemampuan diri dengan menjajal Serbia dalam pertandingan persahabatan.
Yang juga akan dilawan Jerman pada babak kualifikasi Euro 2020 adalah Irlandia Utara, Estonia dan Belarus. Dengan lawan-lawan seperti ini seharusnya Jerman bisa lolos mudah ke putaran final tahun depan.
Namun, Jerman sudah tidak lagi membuat silau lawan-lawannya. Salah satu indikasi ketidakmenterengan lagi Jerman adalah apa yang terjadi pada kompetisi sepak bola mereka.
Untuk pertama kali sejak 2006, klub-klub Jerman, termasuk Bayern Muenchen, absen pada perempatfinal Liga Champions musim ini. "Ini bukti kita tidak melakukan segala hal dengan baik," kata mantan kapten timnas Jerman, Michael Ballack, seperti dikutip AFP.
Setali tiga uang, koran Bundesliga Zeitung menganalisis ketersingkiran Bayern di Liga Champions itu dengan menyimpulkan bahkan kegagalan Bayern itu menunjukkan ada masalah yang harus segera diselesaikan Bundesliga agar bisa lebih kompetitif lagi baik di dalam negeri maupun Eropa.
Suara lebih keras dilontarkan surat kabar top Jerman, Bild.
"Faktanya adalah sepak bola Jerman secara internasional berada di kelas dua. Sekadar mengingatkan, pada 2013 Bayern juara Liga Champions dan pada 2014, kita menjadi juara dunia. Pada 2018, Jerman tersingkir dari Piala Dunia untuk pertama kali terjadi di fase grup, dan pada 2019, tidak ada satu pun klub Jerman di perempatfinal Liga Champions," tulis Bild.
Baca juga: Delapan tahun lagi Inggris juara dunia
Kehilangan ketajaman
Kolumnis The Independent, Miguel Delaney, terang-terangan menyebut permainan Jerman membosankan. Tidak seperti Spanyol, Italia dan Inggris, juara dunia empat kali dan juara Eropa tiga kali itu belakangan kurang kreatif di depan karena seperti kehabisan stok pemain bagus nan agresif di depan.
Mengutip The Independent, para pelatih sepak bola di Jerman hanya mengajarkan soal-soal teknis, tanpa bisa menghasilkan pemain-pemain kelas dunia seperti diproduksi Inggris, Spanyol, Prancis, Brasil, atau Argentina.
Media massa Eropa bahkan menyebut Jerman mengalami stagnasi, yang tercermin di Bundesliga karena Jerman menghadapi masalah struktural. Akademi-akademi sepak bola Jerman banyak mendidik talenta-talenta muda berusia antara 15 sampai 19 tahun, tetapi hanya sedikit yang bisa diorbitkan menjadi pemain elite dunia.
Padahal sepuluh tahun silam Jerman surplus pemain kelas dunia sehingga bisa mengekspor pemain ke liga-liga elite dunia di Spanyol, Inggris, Prancis dan Italia.
Kini banyak yang merasa bakat muda Jerman terlalu banyak dilatih untuk fokus ke penguasaan bola, sampai-sampai pelatih asal Argentina, Claudio Ubeda, menyebut daya juang para pemain Jerman rendah karena inovasi memang tak banyak diajarkan di akademi-akademi bola Jerman.
Generasi pemain saat ini diharapkan menguatkan lagi pasukan Joachim Loew. Para pemain seperti Julian Draxler, Joshua Kimmich, Leon Goretzka dan Julian Brandt sangat terlatih secara taktis maupun teknis. Tetapi, banyak yang khawatir pemain-pemain ini tidak lagi cepat, dinamis dan menjadi penentu pertandingan.
Kekhawatiran semacam inilah yang membuat klub-klub Bundesliga lebih suka merekrut para penyerang seperti Jadon Sancho dan Callum Hudson-Odoi yang baru saja dipanggil masuk Timnas Inggris.
Gaya bermain yang membosankan juga bertautan dengan gaya bermain sama menjemukan di Bundesliga yang kehilangan daya sengat seperti dipunyai Bundesliga beberapa tahun silam. Jika ditelusuri lebih dalam lagi, ternyata ini salah satunya berpangkal pada kurang dinamisnya klub-klub Jerman.
Aturan kepemilikan klub telah membuat klub-klub Jerman hanya bisa dimiliki orang domestik, tak seperti Inggris atau Prancis. Padahal kemampuan finansial pelaku industri bola di Jerman tak merata sehingga tercipta fenomena yang jarang ditemukan di negara lain, yakni satu klub menjadi jauh lebih besar dibandingkan dengan klub-klub lain.
Kesenjangan ini adalah masalah struktural yang harus diatasi Jerman. Mungkin, sebagai klub raksasa yang memiliki kantong tebal, Bayern bisa berbelanja banyak untuk mengembalikan kredibilitas Jerman di teater Eropa. Namun memulihkan sepak bola Jerman ke puncak dunia adalah tugas yang jauh lebih sulit.
Jerman bagaikan pesawat yang dipaksa mendarat tiba-tiba sehingga butuh waktu untuk kembali ke level normalnya. Bisa sekarang, bisa tahun depan. Oleh karena itu, perjalanan Jerman menuju Euro 2020 ini akan mengasyikan untuk ditonton.
Baca juga: Meski favorit di kualifikasi Euro 2020, Deschamps tetap berhati-hati
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2019