"Saya sebagai Gubernur tidak punya kewenangan untuk mengambil tindakan terkait hal ini. Yang punya kewenangan itu (PHDI) dan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali. Pertemuan ini mencarikan jalan keluar terkait masalah yang terjadi," kata Koster saat menggelar rapat dengan PHDI dan MUDP, di Denpasar, Selasa.
Apa yang telah diputuskan PHDI, lanjut Koster , seharusnya dilaksanakan dan umat harus tahu apa isi dari keputusan itu agar tidak salah persepsi dan menjadi masalah sehingga mengganggu pelaksanaan ritual 10 tahunan di Pura Besakih.
Menurut dia, permasalahan yang terjadi saat ini sejatinya telah diatur dalam keputusan PHDI, namun banyak masyarakat yang tidak mengikuti. "Untuk itu, saya berharap agar semua pihak bisa menerima keputusan dengan baik sehingga permasalahan ini tidak berkelanjutan," ujarnya.
Serangkaian dengan ritual Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih, PHDI Provinsi Bali melalui keputusan pesamuhan madya Nomor 01/PESAMUHAN-MADYA/PHDI-BALI/VIII/2018 memutuskan salah satunya bahwa masyarakat tidak diperkenankan melaksanakan "atiwa-tiwa" atau upacara pengabenan terhitung mulai 20 Januari sampai dengan 4 April 2019.
Sementara itu, Ketua PHDI Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan selama ini terjadi kesalahpahaman umat Hindu soal jenazah yang dititipkan di rumah sakit di Bali, sehingga membludak di beberapa rumah sakit. Sudiana menyayangkan penitipan jenazah di rumah sakit karena seakan malah mengabaikan orang yang sudah meninggal.
"Ini terjadi kesalahpahaman oleh umat Hindu. Yang tidak diperbolehkan itu Ngaben, kalau ritual 'mekinsan (menitipkan) di pertiwi atau di geni' boleh. Ini ada salah paham, sehingga jenazah keluarga yang ditinggalkan dititipkan di rumah sakit. Ini tidak benar," ucapnya.
Untuk itu Ia meminta agar masyarakat yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit segera diambil untuk dikuburkan atau "mekinsan di geni".
Pada keputusan PHDI tersebut diatur juga apabila ada yang meninggal dalam rentang waktu tanggal tersebut maka diperbolehkan "mekinsan di pertiwi" dilakukan pada malam hari namun tidak mendapatkan "tirta pengentas".
Selanjutnya apabila yang meninggal adalah Sulinggih (dwijati), Pemangku atau mereka yang menurut dresta tidak boleh dikubur (secepatnya dikremasi) dan juga diperkenankan untuk "ngelelet sawa", bagi yang masih berstatus walaka tidak sampai munggah tumpang salu. Sedangkan bagi sulinggih (dwijati) dapat dilanjutkan sampai "munggah salu".
Selain itu, bila memiliki jenazah atau "layon" yang belum diaben, agar nunas tirtha pemarisudha dari Pura Dalem Puri Besakih yang sebelumnya sudah dibagikan kepada seluruh umat Hindu di Bali kemudian dipercikkan ke jenazah dengan terlebih dahulu menghaturkan upacara. Sementara umat Hindu yang berada di luar Bali dapat melaksanakan Yasa Kerti disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesha. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak menitipkan "layon" atau jenazah di RS karena seharusnya jenazah dihormati dan ditempatkan dengan baik.
"Tetapi yang sekarang terjadi, banyak jenazah begitu saja ditempatkan di RS Kalau tidak segera di lakukan upacara, kan cukup lama jadinya 'sebel' (berduka-red). Selain itu juga tidak bisa mengikuti prosesi karya Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih yang dilaksanakan setiap 10 tahun," ucapnya.
Jero Suwena menambahkan, sebenarnya jenazah yang meninggal saat upacara Panca Wali Krama bisa dikuburkan seperti biasa (mekinsan di pertiwi) atau mekinsan di geni. Sesuai dengan aturan yang ada, maka jenazahnya bisa dipendam (dikubur).
"Jenazah itu bisa dikuburkan setelah matahari terbenam atau dikuburkan secara diam-diam. Ini berlaku untuk orang biasa. Sementara untuk orang-orang suci seperti pedanda, pemangku maka bisa mekinsan di geni. Masyarakat atau umat Hindu seharusnya paham, bahwa baik mependem (dikubur) atau mekinsan di geni itu bukan upacara ngaben. Yang dilarang itu hanya ngaben. Ini harus dipahami," kata Jero Suwena.*
Baca juga: Empat Jenazah Dititipkan Terkait Larangan Ngaben Selama PBK
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019