Aizawl, India (ANTARA News) - Setelah tindakan keras berdarah di Myanmar terhadap unjuk rasa pro-demokrasi sejak September 2007, maka banyak anggota masyarakat Chin melarikan diri ke India, mengatakan mereka diminta untuk ikut unjuk rasa pro-junta atau membayar denda yang besar, dan hal lain yang lebih buruk. Ada sekira dua juta orang Chin di Myanmar, dan organisasi Chin mengatakan, mereka menghadapi penghambatan terus-menerus karena masuk Kristen dan bukan etnik Burma (nama lain Myanmar). Sedikit-dikitnya 13 orang dilaporkan tewas dan 3.000 orang ditahan ketika junta Myanmar menindas unjuk rasa damai yang meletus karena naiknya harga minyak dan menarik sekitar 100.000 orang, dipimpin oleh para biksu Budha, ke jalanan. Dalam beberapa pekan ini setelah tindakan keras itu, orang-orang Chin, yang memiliki sejarah panjang migrasi ke India untuk melarikan diri dari kemiskinan dan kerja paksa, mengatakan bahwa pihak militer Myanmar dan pendukungnya telah memaksa mereka untuk mendukung junta. "Pemimpin tentara di desa kami memberi peringatan umum pada semua orang untuk menghadiri unjuk rasa pada 8 Oktober," kata seorang wanita Chin yang belum lama ini tiba di India, yang minta untuk tidak disebutkan namanya. Ia menimpali, "Setiap orang yang tidak hadir akan didenda 10.000 kyat (1,560 dolar) atau dipenjarakan. Saya diperintahkan untuk membayar jumlah denda yang besar itu, yang tidak ada jalan bagi saya untuk membayarnya, jadi saya lari ketimbang menghadapi kehidupan dalam kamp penjara tentara." Pekan lalu, wanita itu mencapai Aizwal, ibukota negara bagian Mizoram di India timurlaut yang membagi perbatasan 400 Km-nya dengan Myanmar. Aizwal berada sekitar 70 Km dari perbatasan India-Myanmar. Para pekeja hak asasi manusia mengatakan geng-geng kejahatan telah dibayar untuk memaksa orang ikut unjuk rasa itu. "Mereka mempunyai organisasi yang dinamakan Chiang Khai Phyu i (Organisasi Pemuda untuk Mendukung Pemerintah Burma), yang bekerja dengan tentara," kata Zo Sang Pui, kepala Organisasi Seluruh Wanita Lushai Demokratik Burma, kelompok masyarakat Chin yang bekerja di Mizoram. "Tentara tidak resmi itu lebih berbahaya ketimbang tentara berseragam karena mereka bukan apa-apa kecuali sekelompok penjahat kejam yang diupah oleh junta untuk melakukan semua pekerjaan buruk mereka," katanya. Di Hakha, kota penting di negara bagian Chin di Myanmar baratlaut dan dengan penduduk sekitar setengah juta jiwa, unjuk rasa pro-militer terjadi awal bulan ini, tapi pekerja hak asasi manusia mengatakan bahwa dukungan itu dipaksakan. Dengan banyaknya pemuda yang lari ke India -- ada sekitar 100.000 pengungsi Chin di India, 70.000 dari mereka di Mizoram -- kebanyakan orang tua yang ditinggalkan hanya memberikan sedikit perlawanan. "Sebagian besar orang sudah lelah untuk melawan karena hanya orangtua yang tinggal di kebanyakan desa," kata Salom, koordinator Liga Wanita Chinland, kelompok induk dari organisasi wanita Chin. "Orang keluar karena takut. Tentara membuat orang meneriakkan slogan yang mendukung junta yang difilmkan dan kemudian disiarkan melalui saluran TV negara dan juga dipasok ke kantor berita internasional." kata Salom. "Orang harus mengerti bahwa itu hanya gambar palsu. Sebagai seorang mahasiswa pada 1998, saya juga dipaksa pergi ke unjuk rasa di Hakha. Satu kelompok pemberontak Chin telah melancarkan perjuangan bersenjata untuk memperoleh tanah air terpisah dua dasawarsa lalu, tapi kemudian terpecah menjadi sejumlah organisasi terpisah. Mizoram adalah salah satu negara bagian di bagian utara India yang dirusak-pemberontakan. New Delhi mengandalkan rezim militer itu untuk membantu dalam menghalau militan yang memerangi pemerintah India. India mendapat serangan karena membiarkan kepentingan strategis dan bisnisnya di negara kaya gas itu tapi tidak menekan tetangganya itu berkenaan dengan tindakan kerasnya, meskipun New Delhi telah minta Myanmar untuk membebaskan pemimpin pro-demokrasi Aung San Suu Kyi dan menyampaikan keprihatinan soal penindasan atas unjuk rasa tersebut, demikian laporan AFP. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007