Jakarta (ANTARA) - KPK mendorong revisi Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) agar memuat sejumlah aturan dalam Konvensi PBB untuk Antikorupsi (the United Nations Convention against Corruption atau UNCAC).
"Kita sudah 'roadshow' ke beberapa universitas, kita sudah panggil kepolisian, kejaksaan, pengadilan, setelah itu kita ingin menyampaikan kepada pemerintah yang akan menang nanti untuk bisa memasukkan revisi UU ini ke dalam prolegnas (program legislasi nasional) karena kemarin itu, pembaruannya mau dimasukkan KUHP, tapi banyak pakar dan KPK menganggap bahwa pasal-pasal yang berhubungan dengan tipikor itu sebaiknya tidak masuk dalam KUHP tetapi diperbaiki melalui revisi UU Tipikor," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jakarta, Selasa.
Laode menyampaikannya dalam seminar "Urgensi Pembaruan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi" yang diselenggarakan KPK.
Indonesia sesungguhnya sudah meratifikasi Konvensi PBB untuk Antikorupsi (UNCAC) ke dalam UU No 7 tahun 2006, namun beberapa komponen belum masuk ke UU No 31/1999 sebagaimana diubah ke UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor yaitu korupsi di sektor swasta (private sector), memperkaya diri secara tidak sah (illicit enrichment), perdagangan pengaruh (trading in influence) dan pengembalian aset (asset recovery).
"UU Tipikor kita belum memasukan beberapa Tipikor yang di negara-negara lain sudah dianggap Tipikor, misalnya memperdagangkan pengaruh, memperkaya diri sendiri dengan tidak sah, suap-menyuap sektor swasta, hal-hal yang berhubungan dengan 'asset recovery', dan satu lagi yang berhubungan dengan menyuap orang asing belum ada dalam norma hukum UU Tipikor kita," tambah Laode.
Karena tidak lengkapnya norma dalam UU Tipikor tersebut, menurut Laode, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pun hanya menunjukkan kenaikan tipis yaitu naik 1 poin dari 37 pada 2017 menjadi 38 pada 2018.
"Dengan tidak lengkapnya norma tindak pidana korupsi kita, indeks perspesi korupsi kita memang meningkat tapi meningkatnya sangat sedikit," ungkap Laode.
Laode pun menilai revisi UU Pemberantasan Tipikor menjadi penting dan bahkan pemerintah dianggap perlu mengusulkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) pemberantasan tipikor.
"Kita perlu mengoptimisasi percepatan revisi UU Tipikor, atau mungkin bila dianggap genting sekali, atau penting sekali, apakah mungkin Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang? Saya anggap ini memang susah tapi kalau kita anggap korupsi itu menjadi musuh bersama dan hampir tiap hari ada, mungkin kegentingannya mungkin ada," jelas Laode.
Salah satu yang mendesak untuk dimasukkan menurut Laode adalah mengenai memperdagangkan pengaruh (trading in influence).
"Contoh saya ditanya wartawan kemarin, ada beberapa kasus yang ditangani KPK menurut mereka (wartawan) itu sebenarnya memperdagangkan pengaruh, 'trading in influnce', jadi belum bisa kita pidanakan lalu saya sampaikan kalau memperdagangkan pengaruh itu bila dia tidak terima uang, kalau terima uang juga ya itu pasti suap, seberapa pun jumlahnya, baik besar atau kecil kalau dia terima uang pasti itu bukan memperdagangkan pengaruh lagi tapi itu adalah suap," ungkap Laode.
Kasus yang belakangan ditangani KPK adalah kasus dugaan suap seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama RI tahun 2018-2019 yang menjerat Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy alias Rommy yang juga anggota Komisi XI DPR.
Rommy diduga menerima uang Rp250 juta dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agamar (Kemenag) provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin pada 6 Februari 2019. Uang itu diperuntukkan agar Haris dapat lolos dalam seleksi sebagai Kepala Kantor Wilayah Kemenag Jatim.
Pemberian selanjutnya sebesar Rp50 juta berasal dari Kepala Dinas Kemenag Kabupaten Gresik Muafaq Wirahadi untuk mendaftar sebagai Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik yang belum diterima karena terjadi OTT pada Jumat (16/3).
Sejumlah panelis dalam diskusi tersebut antara lain adalah mantan ketua kamar pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar, pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Bandung Agustinus Pohan dan guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiarief.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019