Jakarta (ANTARA) - Peneliti bidang sosial The Indonesian Institute Nopitri Wahyuni mengatakan dua calon wakil presiden dalam debat pada Minggu (17/3) malam sedikit berbicara mengenai kelompok minoritas dan golongan rentan.
Nopitri kepada wartawan di Jakarta, Senin (18/3), mengatakan kedua cawapres yaitu Ma'ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno, banyak membahas isu-isu populer tanpa merangkak sedikit pada kondisi sosial yang terjadi dan mandegnya pembahasan kebijakan yang mengakomodir persoalan tersebut.
"Isu kelompok disabilitas, perempuan maupun komunitas Masyarakat Adat tidak menjadi bagian dari substansi debat," kata dia.
Padahal, menurut dia, masih banyak persoalan pada kelompok minoritas dan rentan, seperti pengakuan eksistensi dan perlindungan Masyarakat Adat, tingginya perkawinan anak dan kekerasan terhadap perempuan serta pelayanan sosial bagi kelompok disabilitas.
Nopitri mengatakan kedua cawapres dalam penjelasan debatnya juga belum banyak mengelaborasi konteks persoalan, misalnya tidak menyentuh konteks maupun tawaran kebaruan.
"Cawapres 01 Ma'ruf Amin fokus pada konservasi dan globalisasi budaya, yang kemudian dilengkapi dengan pernyataan Cawapres 02 Sandiaga Uno dengan polesan ekonomi kreatif," kata dia.
Meski ada pembahasan penguatan kebudayaan lokal, kata dia, soal Masyarakat Adat juga tidak disinggung. Kedua Cawapres melupakan polemik yang terjadi, yaitu perjuangan hak-hak Masyarakat Adat melalui RUU Masyarakat Adat yang masih mengalami kebuntuan.
"Padahal, mereka menghadapi perentanan yang cukup serius, mulai dari perampasan lahan sampai diskriminasi keyakinan," katanya.
Selanjutnya pada isu kesehatan, Nopitri menilai, kedua Cawapres tidak banyak mengelaborasi strategi bagaimana perbaikan tata kelola dan inklusivitas layanan kesehatan bagi perempuan dan penyandang disabilitas.
Kemudian pada isu ketenagakerjaan, dia mengatakan kedua cawapres memiliki gambaran yang serupa dengan menekankan pada pengentasan pengangguran dan pembukaan lapangan kerja. "Link and match" atau sinergi pendidikan dengan dunia industri dan penggunaan infrastruktur digital menjadi sangat populer.
Sayangnya, kata dia, bahasan ketenagakerjaan tidak menguak persoalan kerja layak, terutama hak-hak tenaga kerja seperti upah minimum, hak pekerja perempuan, perlindungan tenaga kerja informal dan hal lain terkait.
"Bolong-bolong perangkat kebijakan ketenagakerjaan saat ini pun belum dikritisi lebih lanjut, seperti pengesahan RUU PRT (Pembantu Rumah Tangga) dan perlindungan pekerja migran," katanya.
Soal pendidikan, Nopitri mengapresiasi komitmen kedua Cawapres tentang pentingnya riset dalam pembangunan.
Dia mencontohkan Cawapres 01 yang mengutarakan soal riset dengan cakupan teknis yang baik, mulai dari dana abadi riset, pembentukan Badan Riset Nasional dan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN). Sedangkan, pada Cawapres 02 yang fokus dengan riset yang sesuai dengan kebutuhan industri.
"Komitmen kedua pasangan patut diapresiasi terkait riset dalam pembangunan. Namun patut dilihat juga, tentang bagaimana kualitas dan kebermanfaatan riset sebagai fondasi kebijakan berbasis bukti," kata dia.
"Terutama bagaimana pemerintah membuka keran dana riset untuk berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain (seperti LSM/Think Tank) untuk mengkritisi, melihat konteks sosial dan mendukung kebijakan yang ada," katanya.
Nopitri menilai dari Debat Cawapres pada Minggu (17/3), keempat isu tema perdebatan telah cukup baik dipaparkan.
"Situasinya adalah bagaimana penurunan visi misi setiap paslon dapat menyentuh konteks sosial masyarakat yang terjadi sehingga program maupun kebijakan yang ditawarkan dapat menjawab masalah dan kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat," kata dia.
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019