Antusiasme masyarakat Ibu Kota dan di luar Jakarta terlihat dari banyaknya pendaftar yang ingin menjajal rangkaian kereta Ratangga tersebut.
Lebih dari setengah kuota yang disediakan sudah terisi, penumpang yang sudah mengikuti uji coba sebanyak 285.600 penumpang. Bahkan kuota ditambah dari 21.200 penumpang per hari menjadi 50.000 penumpang per hari.
Apabila antusiasme ini terus berlanjut hingga MRT beroperasi normal, maka bukan tidak mungkin budaya baru akan terbentuk, seperti budaya menggunakan angkutan massal, tepat waktu dan antre.
Dampak jangka panjang lainnya yang bisa dirasakan adalah berkurangnya kemacetan serta polusi perkotaan karena penggunaan kendaraan pribadi yang turun dengan signifikan.
Namun, menarik masyarakat untuk secara konsisten menggunakan MRT harus didukung dengan sejumlah komponen, seperti tarif yang sesuai dengan kemampuan ekonomi rata-rata masyarakat serta akses dan moda pengumpan yang memudahkan menjangkau MRT.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini masih menggodok besaran tarif yang diajukan oleh PT MRT Jakarta, yaitu Rp10.000 per 10 kilometer, artinya Pemprov DKI harus memberikan subsidi sekitar Rp572 miliar per tahun.
Integrasi adalah kunci
Tarif yang kompetitif bukanlah komponen satu-satunya magnet yang bisa menarik penumpang menggunakan MRT, sehingga arus pendapatan dari penjualan tiket tersebut bisa terus mengalir.
Apabila diibaratkan MRT seperti “tulang punggung” yang menopang transportasi perkotaan, namun harus didukung dengan "tulang rusuk" yang menjadi penopang dan penyambung akses bagi masyarakat, yaitu bus pengumpan (feeder).
Untuk itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memerintahkan agar Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek berkoordinasi dengan Pemprov DKI Jakarta dan PT Transportasi Jakarta untuk menyediakan bus-bus pengumpan.
“MRT ini akan mengangkut jumlah penumpang yang banyak, tetapi memang harus dipersiapkan, terutama feeder dari beberapa titik agar kapasitas bisa digunakan maksimal,” ujar Menhub.
Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Bambang Prihantono menilai diperlukan kebijakan lanjutan agar pengoperasian MRT lebih efektif, terutama integrasi moda.
“Integrasi antara MRT dengan angkutan pengumpan merupakan kunci. MRT yang berfungsi sebagai ‘tulang punggung’ tidak dapat berjalan berdiri sendiri,” kata Bambang.
Ketersediaan angkutan pengumpan penting agar dalam mengakses MRT, masyarakat tidak menggunakan kendaraan pribadi.
Dikhawatirkan, karena tidak tersedia layanan angkutan umum yang bersifat massal dan terintegrasi, stasiun-sitasiun MRT akan menjadi titik baru kemacetan.
“Jangan sampai terjadi, MRT yang kita harapkan mampu mengurangi kemacetan, malah menjadi sumber kemacetan yang baru,” ujarnya.
Membangun TOD
Tidak cukup sampai di akses penunjang, “magnet” lain yang harus segera dibangun di setiap ruas stasiun MRT adalah kawasan berbasis transit (TOD).
Bukan hanya sebagai perekat integrasi antarmoda, TOD juga penggerak roda bisnis MRT yang lebih berkelanjutan.
Bahkan, TOD inilah yang disebut “daging” di antara “tulang-tulang” penopang dan penyambung moda transportasi tersebut.
Pakar Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Bandung Sony Sulaksono Wibowo menilai bisnis MRT tidak mungkin berjalan apabila hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket.
Berkaca pada moda transportasi massal MRT di negara-negara tetangga yang sudah berjalan bertahun-tahun, yang membuat berkembang adalah bisnis nontiket dari ruang-ruang komersial stasiun serta TOD yang dibangun.
Sony menuturkan bahwa TOD yang berhasil adalah TOD yang menciptakan rasa ketergantungan masyarakat terhadap moda transportasi massal, dalam hal ini MRT.
“Ada ketergantungan sangat tinggi dari masyarakat dengan angkutan massal tersebut,” katanya.
Menumbuhkan rasa ketergantungan terhadap MRT, yakni dengan memusatkan seluruh kegiatan di stasiun dan tempat-temat publik, baik itu sekolah, pusat perbelanjaan, perkantoran dan perumahan yang tidak jauh dari stasiun, makasimal satu kilometer.
Contohnya, di Bangkok, Thaliand, fasilitas publik seperti pusat perbelanjaan, museum serta stadion terhubung dengan stasiun BTS Skytrain, sehingga penumpang hanya berhenti di satu stasiun, tapi bisa mengakes berbagai tempat.
Area-area komersial di dalam stasiun pun dipenuhi gerai-gerai makanan, minuman dan lainnya yang membuat stasiun tersebut hidup.
Artinya, masyarakat tidak perlu keluar stasiun untuk memenuhi kebutuhannya, kalaupun keluar jarak yang ditempuh tidak begitu jauh, seperti di Singapura di mana jarak dari stasiun ke sekolah dan mall hanya maksimal 800 meter.
Bahkan, Pemerintah Singapura mengenakan pajak lebih tinggi bagi penduduk pemilik kendaraan pribadi yang tinggal di apartemen sekitar stasiun MRT.
Namun, Sony mengaku bahwa untuk mewujudkan operasional MRT yang berkelanjutan dengan integrasi moda dan TOD membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Sebagai contoh, Singapura membangun MRT pada 1987, namun baru merasakan dampaknya mulai 2000-an, kemudian Bangkok di tahun 1990-an yang dinilai belum juga terlalu signifikan, meskipun sudah terintegrasi dengan baik.
“MRT Jakarta belum terasa dampak dalam 10 dan 20 tahun, ya, wajar, ditambah belum terhubungnya dengan lintas Barat dan Timur dan TOD belum terbangun. Dampak yang luar biasa tidak terjadi dalam waktu dekat,” katanya.
Namun, menurut Sony, moda transportasi berbasis rel memang dirasa sulit di awal, tetapi memberikan dampak yang signifikan serta memecahkan sejumlah persoalan di kemudian hari.
Sekretaris Perusahaan PT MRT Jakarta Muhamad Kamaludin menyebutkan bahwa TOD yang pertama yang akan dibangun adalah TOD Dukuh Atas dan baru akan rampung pada Desember 2021.
Untuk periode 2019-2021, MRT akan menghubungkan Stasiun MRT, Kereta Commuterline Indonesia (KCI) dan Kereta Bandara, kemudian diikuti tahap selanjutnya yaitu pedestrian penghubung Light Rail Transit (LRT) dengan Transjakarta.
Pedestrian untuk pejalan kaki itu melibatkan lima operator transportasi masal yakni MRT, Light Rail Transit (LRT), Kereta Commuterline Indonesia (KCI), Railink selaku operator Kereta Bandara dan Transjakarta.
Pendanaan kegiatan dialokasikan secara konsorsium melibatkan APBN, APBD DKI Jakarta serta pihak pengembang dengan total investasi Rp20 triliun.
Meskipun perjalanan MRT masih panjang, Ratangga ini memberikan harapan baru bagi masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya yang telah lama memimpikan moda cepat yang bisa membelah kemacetan.
Dengan kecepatan maksimum hingga 110 kilometer per jam dan waktu tempuh Bundaran HI-Lebak Bulus hanya 30 menit tentu akan mengubah tren transportasi kota serta menstimulus terciptanya budaya baru.*
Baca juga: Pemerintah siapkan sumber daya manusia bidang perkeretaapian
Baca juga: Transportasi massal berkontribusi kurangi polusi DKI Jakarta
Baca juga: BPTJ: Integrasikan moda agar operasional MRT Jakarta efektif
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019