kenapa menunggu waktu hingga satu bulan untuk mengumumkan bila semua sudah memegang data hasil tes kepatutan dan kelayakan

Jakarta (ANTARA) - Dua hakim konstitusi yaitu Aswanto dan Wahiduddin Adams kembali terpilih menjabat sebagai dua dari sembilan penjaga gerbang konstitusi dari unsur DPR RI, untuk periode 2019 hingga 2024.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Pandjaitan mengumumkan bahwa persetujuan tersebut dilakukan secara musyawarah mufakat oleh anggota Komisi III DPR dari 10 fraksi, setelah dua hakim konstitusi petahana tersebut melakukan uji kelayakan dan kepatutan pada Rabu (6/2) dan Kamis (7/2).

Trimedya menjelaskan dalam rapat pleno Komisi III DPR, masing-masing fraksi menyampaikan pendapatnya apakah menyetujui mekanisme musyawarah mufakat ditempuh.

Menurut dia, Fraksi PDI Perjuangan memulai pertama dan mengusulkan Aswanto serta Wahiduddin Adams lalu 10 fraksi menyepakati usulan Fraksi PDI Perjuangan tersebut, sehingga dua nama hakim konstitusi tersebut terpilih secara aklamasi.

Meskipun beberapa pihak dan pengamat mencibir proses pemilihan hakim konstitusi yang secepat kilat, Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik menjelaskan bahwa sebenarnya Komisi III DPR sudah memulai proses pemilihan calon hakim konstitusi sejak Februari 2019, lalu membentuk tim panel ahli yang memberikan masukan kepada Komisi III DPR RI.

Menurut dia, masukan Tim Penel Ahli tersebut sangat signifikan dalam perubahan situasi dan pandangan fraksi-fraksi terhadap calon hakim konstitusi.

Erma berharap kedua calon hakim konstitusi tersebut bisa melaksanakan tugasnya dengan baik karena tugas MK ke depan sangat berat, yaitu terkait dengan sengketa Pemilu 2019 seperti Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.

Ungkapan sukacita dan harapan juga diutarakan pihak Mahkamah Konstitusi (MK). MK melalui juru bicaranya Fajar Laksono menyambut gembira atas kembali terpilihnya dua hakim konstitusi dari unsur DPR untuk menjaga marwah konstitusi.

"Tentu MK menyambut gembira atas terpilihnya kembali kedua beliau," ujar Fajar.

Fajar menjelaskan terlepas dari pertimbangan DPR, dua hakim konstitusi terpilih ini sudah terbukti sebagai negarawan dan berpengalaman dalam menangani perkara sehingga keduanya sudah tidak diragukan lagi penguasaan substansi serta integritasnya.

Fajar kemudian mengatakan bagi MK hal-hal tersebut tentu akan memudahkan visi dan misi MK selanjutnya karena keduanya tinggal melanjutkan apa yang sebelumnya sudah terbangun.

"Terutama menjelang penanganan perselisihan hasil pemilu nanti, beliau berdua sudah punya pengalaman. Jadi harapannya semua lancar," ujar dia.

Secepat Kilat
Meskipun hakim konstitusi dari unsur DPR sudah terpilih, proses seleksi hingga persetujuannya banyak menimbulkan polemik mengingat jangka waktu seleksi yang dinilai secepat kilat, lantaran hanya memakan waktu lima hari kerja.

Pendaftaran untuk seleksi calon hakim konstitusi yang dilakukan oleh DPR dilaksanakan pada 31 Januari 2019, sedangkan proses seleksi dilaksanakan secara cepat, sehingga pada Rabu (6/2) sampai dengan Kamis (7/2) malam tim panel hakim konstitusi sudah melakukan uji kelayakan dan kepatutan, untuk membantu DPR memilih dua terbaik dari 11 kandidat yang mendaftar seleksi tersebut.

"Dalam sejarah seleksi hakim MK yang dilakukan secara terbuka dari ketiga lembaga negara pengusul (DPR, Presiden, dan MA), baru kali ini jangka waktu seleksi dilakukan dengan sangat pendek yaitu hari kerja," ujar peneliti Indonesian Legal Rountable Erwin Natosmal Oemar yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Selamatkan MK.

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Selamatkan MK ini terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hukum, yaitu LBH Jakarta, PBHI, Perludem, Kode Inisiatif, ICW, ILR, ICJR, dan YLBHI.

Jangka waktu yang sangat pendek dinilai para aktivis hukum akan menimbulkan satu persoalan yang memengaruhi kuantitas dan kualitas hakim konstitusi yang terpilih. Apalagi mengingat minimnya waktu yang dibuka oleh DPR justru membuat akses untuk mendapatkan calon yang berkualitas menjadi tertutup.

Banyak pakar hukum yang memiliki kompetensi dan integritas, namun dengan jangka waktu secepat kilat tersebut mereka tidak bisa menyiapkan berkas yang dibutuhkan.

Sependapat dengan koalisi, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menilai seleksi hakim MK dilakukan oleh DPR, tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Bayu menengarai bahwa DPR seolah-olah melakukan seleksi secara terbuka, tapi sebetulnya mereka sudah memiliki rancangan besar atau agenda tersembunyi di belakang itu, terbukti dari jangka waktu pendaftaran yang sangat tidak proporsional dan tidak wajar.

Sebagai contoh, Bayu mengatakan waktu pendaftaran yang disediakan dalam seleksi hakim MK oleh Presiden adalah tiga minggu atau setidaknya 20 hari kerja. Begitu pula dengan pendaftaran komisioner KPK atau pun pendaftaran hakim agung, yang rata-rata memakan waktu tiga minggu.

"Apalagi ini mencari sosok negarawan untuk menduduki jabatan sebagai hakim konstitusi," ujar dia.

Bayu menjelaskan persyaratan seleksi hakim MK yang berat tidak akan memungkinkan bagi para kandidat untuk memenuhinya dalam jangka waktu lima hari saja. Apalagi hakim konstitusi terpilih ini akan menjadi dua dari sembilan hakim yang akan memeriksa dan mengadili sengketa Pemilu 2019.

"Besar kemungkinan DPR sudah punya rencana untuk meloloskan calon-calon tertentu, secara formal mereka tampak terbuka tapi secara substansi tidak mengubah konsep rekrutmen hakim MK yang seharusnya transparan, objektif, dan terbuka seluas-luasnya untuk orang-orang yang mendaftar," ujar dia.

Menjawab dugaan para pengamat tersebut, Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa membantah dugaan bahwa seleksi calon hakim konstitusi berlangsung secara terburu-buru.

Menurut dia, seleksi calon hakim konstitusi secara terbuka dan transparan.

Desmond juga membenarkan bahwa uji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi berlangsung pada Rabu (6/2) hingga Kamis (7/2) malam yang akan langsung diambil keputusan.

Menunda
Meskipun proses sudah dilaksanakan secara cepat, DPR kemudian memutuskan untuk menunda pengumuman hasil seleksi hingga selesai masa reses DPR, yaitu pada 12 Maret 2019, sehingga kembali memunculkan berbagai dugaan bernada negatif.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan adalah salah satu pihak yang mempertanyakan motif DPR menunda pengumuman hasil seleksi calon hakim konstitusi.

Menurut Jimmy, bila sejak awal seleksi sudah dilakukan terburu-buru lantas mengapa pengumuman tidak dipercepat mengingat hasil dari uji kelayakan dan kepatutan sudah diserahkan oleh tim panel ahli.

"Pertanyaannya adalah, kenapa menunggu waktu hingga satu bulan untuk mengumumkan bila semua sudah memegang data hasil tes kepatutan dan kelayakan," ujar dia.

Jimmy menilai DPR tampak sengaja menunda pengumuman hasil seleksi dalam waktu yang cukup lama, sehingga masyarakat bisa saja lupa dengan apa yang menjadi pemikiran tim panel pada tes kelayakan dan kepatutan.

Penundaan ini bisa saja membuat masyarakat lupa dengan hasil rekomendasi tim panel seleksi, sehingga Jimmy menduga DPR bisa dengan mudah mengambil keputusan tanpa melihat hasil tes sebelumnya. Hal ini memunculkan dugaan adanya permainan politik dalam seleksi ini.

Bagaimana pun juga, dua hakim konstitusi dari unsur DPR yang akan menjabat pada periode 2019 hingga 2024 telah terpilih.

Masyarakat tentu hanya berharap supaya seluruh hakim konstitusi dapat menjaga gerbang konstitusi dan menjalankan tugas serta fungsinya secara independen dan menjujung tinggi integritas.

Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019