Jakarta (ANTARA) - Siapapun pemenang dari kontestasi Pemilihan Presiden 2019 dan akan memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan akan dihadapkan oleh PR besar untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang kesehatan.

Debat ketiga Pemilu Presiden 2019 yang akan diselenggarakan pada Minggu (17/3) dan menghadirkan calon wakil presiden dari dua kandidat seharusnya digunakan sebaik-baiknya bagi masing-masing kandidat untuk mengungkapkan ide brilian mengentaskan berbagai masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

Indonesia disebut-sebut sebagai negara yang memiliki beban ganda dalam menangani masalah kesehatan. Bukan cuma satu, tapi beberapa beban ganda.

Di Indonesia, prevalensi penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi dari tahun ke tahun selalu meningkat.

Perbandingan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan kenaikan prevalensi kanker meningkat dari 1,4 persen menjadi 1,8 persen; penyakit stroke naik dari tujuh persen menjadi 10,9 persen; dan penyakit ginjal kronik naik dari dua persen menjadi 3,8 persen.

Sementara berdasarkan pemeriksaan gula darah, penyakit diabetes melitus naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen dan hasil pengukuran tekanan darah menunjukkan penyakit hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.

Di samping meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular, Indonesia juga masih memiliki pekerjaan rumah untuk mengatasi berbagai penyakit menular seperti demam berdarah, malaria, TBC, filariasis, pneumonia, dan HIV/AIDS.

Selain masalah penyakit, beban ganda lainnya ialah masalah gizi di mana Indonesia berhadapan dengan jumlah gizi buruk dan stunting yang masih di bawah standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), sementara di sisi lain jumlah orang yang mengalami obesitas di Indonesia terus meningkat.

Pemerintah Indonesia sudah cukup baik bisa menurunkan angka kekerdilan pada anak atau stunting dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 30,8 pada 2018. Namun angka tersebut masih jauh dari standar yang ditetapkan WHO yakni 20 persen.

Sementara prevalensi obesitas (indeks massa tubuh di atas 27,0) pada 2007 sebesar 10,5 persen menjadi 21,8 persen pada 2018. Selanjutnya obesitas sentral (lingkar perut perempuan lebih dari 80 cm dan laki-laki 90 cm) yakni 18,8 persen pada 2007 menjadi 31,0 persen pada 2018.

Apa dampaknya?

Masalah obesitas berkaitan erat dengan angka kesakitan penyakit tidak menular. Orang dengan berat badan lebih cenderung lebih berisiko terkena berbagai penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung, stroke, diabetes dan sebagainya.

Belum lagi ditambah dengan peningkatan prevalensi merokok pada remaja usia 10-18 tahun yang terus meningkat dari 7,2 persen pada Riskesdas 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018. Rokok adalah salah satu penyumbang tingginya angka penyakit tidak menular di Indonesia karena efek buruk yang diakibatkan.

Jika banyak masyarakat Indonesia yang menderita penyakit tidak menular, tiap keluarga yang anggota keluarganya mengidap penyakit tersebut akan terbebani, produktivitas menurun, dan pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional juga terbebani.

Data BPJS Kesehatan menunjukkan terjadinya peningkatan pembiayaan penyakit katastropik dari 2014 hingga 2018. Yakni pada 2014 dengan 6.116.535 kasus dan pembiayaan sebesar Rp9.126.141.566.873. Meningkat pada 2018 menjadi 19.243.141 kasus dengan pembiayaan mencapai Rp20.429.409.135.197.

Hal lain lagi, yakni gizi buruk dan stunting menjadi momok tersendiri untuk generasi masa depan Indonesia. Gizi buruk dan stunting dapat berdampak pada kesehatan anak sehingga mudah sakit-sakitan.

Selain stunting membuat tinggi badan anak jadi pendek, dampak yang paling dikhawatirkan adalah gangguan pada kognitif anak yang membuat IQ-nya rendah dan paling parah keterbelakangan mental.

Jika sebanyak 30,2 persen anak Indonesia mengalami stunting saat ini, lebih dari seperempat masyarakat produktif Indonesia pada 20 hingga 30 tahun ke depan hanya memiliki kemampuan bekerja secara fisik atau kasarnya sebagai buruh.

Sejatinya berbagai permasalahan kesehatan yang dipaparkan di atas adalah hilir dari berbagai persoalan yang hulunya justru banyak di luar bidang kesehatan.

Masalah stunting berkaitan dengan ketahanan pangan, ketersediaan makanan yang bergizi bagi masyarakat, dan ketersediaan lapangan pekerjaan agar tiap kepala keluarga bisa memberikan makanan pada anaknya dengan tinggi gizi.

Di samping itu juga edukasi orang tua mengenai pola asuh dan pengetahuan soal gizi pada anak mulai dari dalam kandungan sampai usia dua tahun sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Penyakit menular seperti diare, DBD, malaria, filariasis, TBC erat kaitannya dengan kesehatan lingkungan. Bagaimana pemerintah menyediakan akses air bersih dan sanitasi yang layak bagi masyarakatnya. Selain itu penduduk Indonesia juga harus teredukasi agar sadar akan kesehatan lingkungan di sekitar rumahnya.

Masalah penyakit tidak menular lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku masyarakat itu sendiri yang jarang beraktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat, dan konsumsi rokok yang masih tinggi.

Selain lebih kepada kesadaran diri masyarakat untuk mengubah pola hidup yang baik, pemerintah sebenarnya memiliki kewenangan untuk membuat regulasi yang agak sedikit memaksa agar masyarakatnya bisa beralih pada pola hidup yang lebih sehat. Misalnya pembatasan kadar gula, garam, dan lemak di restoran atau makanan kemasan, dan juga perbaikan fasilitas umum serta transportasi agar masyarakat lebih sering berjalan kaki.

Pembangunan kesehatan

Meski masih banyak PR perkara kesehatan di sana-sini, pemerintah Indonesia juga memberikan beberapa kemajuan pada pembangunan kesehatan selama 2014 hingga 2019.

Program yang paling bisa dirasakan oleh masyarakat secara luas tentu saja Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Jutaan masyarakat tertolong dari beban biaya fasilitas kesehatan atas penyakit yang dideritanya.

Hampir seluruh jenis penyakit ditanggung oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan sebagai penyelenggaranya. Namun jumlah iuran yang tidak sesuai nilai aktuaria dan banyaknya masyarakat Indonesia yang menderita penyakit dan memanfaatkan layanan JKN-KIS ini membuat BPJS Kesehatan kesulitan keuangan.

Kendati demikian beberapa pengamat berpendapat menilai wajar jika program JKN-KIS masih banyak kekurangan di sana-sini karena usianya yang baru lima tahun berjalan. Masih diperlukan banyak perbaikan dalam sistem JKN yang harus dipikirkan oleh pemangku kepentingan, bukan sekadar hanya menggelontorkan dana untuk menambal defisit semata.

Di sisi lain, pemerintah juga telah membangun fasilitas kesehatan di daerah-daerah Indonesia yang selama ini belum memiliki akses kesehatan.

Pemerintah telah merenovasi dan membangun 359 Puskesmas baru di daerah tertinggal dan perbatasan pada tahun 2017 dan 2018. Sementara untuk 2019 pemerintah menargetkan membangun Puskesmas di daerah perbatasan dan tertinggal sebanyak 270 unit di 98 kabupaten-kota.

Tidak hanya fisik, pemerintah juga telah berupaya dalam pemerataan tenaga kesehatan dengan mendistribusikan dokter hingga perawat ke berbagai daerah di Indonesia. Sebanyak 7.377 tenaga kesehatan dikirim dan tersebar di 1.661 Puskesmas daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan di 361 kabupaten-kota pada 29 provinsi.

Kementerian Kesehatan sejak 2016 sampai 2018 juga telah menempatkan Calon Dokter Spesialis (Residen) sebanyak 1.787 orang dan program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS) sebanyak 2.039 orang yang tersebar di 631 rumah sakit seluruh Indonesia.

Calon pemimpin Indonesia ke depan diharapkan bisa meletakkan visi bahwa penyelesaian berbagai masalah kesehatan di Indonesia saat ini bukan hanya sebatas kuratif atau mengobati penyakit, namun promotif preventif sebagai investasi sumber daya manusia Indonesia ke depan yang berkualitas.

Baca juga: Peserta JKN meningkat 83 juta jiwa sejak 2014

Baca juga: Kemenkes tambah alokasi penerima bantuan iuran JKN Rp26,7 triliun

Baca juga: Pemerintah ungkap capaian bidang kesehatan

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019