Jakarta (ANTARA) - Tahun 2019 ini pemerintah menargetkan angka kepatuhan lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebesar 85 persen atau sebanyak 15,5 juta wajib pajak yang akan melaporkan SPT tahunan. Di mana, terdapat 18,3 juta wajib pajak terdaftar yang wajib melaporkan SPT. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan tahun 2017 yang hanya dipatok 71-72 persen.

Tercatat hingga 14 Maret 2019, baru ada 5,97 juta WP yang melaporkan SPT tahunan. Capaian ini masih 35,37 persen dari target 15,55 juta WP yang melaporkan SPT Maret ini.

Kendati jumlah ini meningkat sebesar 10,7 persen dibanding 2017 yang hanya 5,4 juta (Tempo.co 14/9), namun agaknya angka tersebut masih terlalu ambisius dan tidak realistis jika dibandingkan dengan realisasi pelaporan SPT tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan data, hasil realisasi pelaporan SPT pada 2018 yang sedikit mengecewakan. Pasalnya dari target 14 juta WP hanya 10,5 juta atau 71,7 persen yang melaporkan SPT, baik WP pribadi maupun WP badan. Jika dibandingkan dengan total wajib pajak terdaftar yang mencapai 18 juta orang, itu berarti hanya 55,8 persen yang melaporkan pajaknya di tahun 2018 (Indef, 2018).

Mundur di tahun sebelumnya, rasio kepatuhan pelaporan SPT Tahunan wajib pajak pada 2017 hanya sebesar 58,47 persen. WP yang terdaftar wajib SPT mencapai 16,6 juta, tapi realisasi pelaporan hanya mencapai 9,7 juta SPT. Meskipun telah terjadi peningkatan pertumbuhan penyampaian SPT Tahunan secara elektronik sebesar 14 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya dikarenakan adanya kemudahan dalam penyampaian SPT Tahunan melalui e-filling.

Sepanjang tahun 2016, berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), capaian realisasi kepatuhan Wajib Pajak (WP) dalam melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) mencapai 62,3 persen. Dari jumlah WP yang wajib melaporkan SPT sebanyak 20,17 juta, sebanyak 12,56 juta WP melaporkan SPT. Capaian ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 60 persen saja. (Kemenkeu, 2016).

Masalah yang dihadapi

Secara teknis masalah yang paling sederhana yang menyebabkan sering tidak terlampauinya target pelaporan SPT adalah rendahnya sosialisasi pelaporan SPT di daerah-daerah. Ditjen Pajak hanya fokus pada sosialisasi di wilayah perkotaan, padahal sebagian besar masyarakat Indonesia denga proporsi 26,7 persen bekerja di sektor pertanian yang notabene ada di desa.

Kemudian, 57 persen angkatan kerja ada di sektor informal. Akhirnya, kepatuhan pelaporan pajak lebih didominasi karyawan perkantoran. Sehingga pelaporan SPT pun belum maksimal untuk dijangkau oleh mereka yang tinggal di wilayah perdesaan.

Kemudian, masalah selanjutnya datang dari model pengisian pelaporan model e-filling. Kendati digadangkan untuk mempermudah masyarakat dalam melaporkan SPT tahunannya, akan tetapi, model ini masih terhambat pada akses internet yang kurang bagus.

Problemnya adalah penetrasi internet di luar Pulau Jawa jawa rata-rata masih di bawah 20 persen.Tingkat pendidikan angkatan kerja di Indonesia sebanyak 70 persen didominasi lulusan SMP, alhasil wajar jika tingkat melek internetnya agak tertinggal dibanding negara-negara sebelah.
Ujung-ujungnya masyarakat harus secara manual mendatangi kantor pajak untuk melaporkan SPT dan menyita waktu mereka satu hari untuk bekerja dan banyak masyarakat yang masih enggan mengorbankan waktu kerjanya hanya untuk melaporkan SPT mereka.

Faktor berikutnya yang lebih fundamental adalah adanya ketimpangan perlakuan pajak antara WP. Kita lihat contoh kasus pada tahun 2016 misalnya, Kementerian Keuangan mengumumkan ada 2.000 perusahaan asing berkelit dari pembayaran pajak selama 10 tahun terakhir. Total kerugian negara akibat penghindaran pajak ini menurut statemen Kementerian Keuangan mencapai Rp500 triliun.

Lebih dari itu, tentu masih terekam dengan jelas dalam ingatan kita mengenai hebohnya kasus Panama Papers. Bocornya 11,5 juta dokumen rahasia mengenai tokoh politik, pengusaha hingga artis yang menggelapkan uangnya ke surga pajak (tax heaven). Kemudian, masyarakat terus disuguhi pergelaran kasus-kasus pelanggaran pajak yang membuat WP menjadi tidak begitu respect dengan aturan pajak yang berlaku.

PR yang berat

Kendati demikian, penulis mengapresiasi atas kerja keras pemerintah guna menekan tingkat pelaporan SPT, pada tahun 2018. Pemerintah telah menerbitkan sebuah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2018 tentang Pembauran Sistem Administrasi.

Ditjen Pajak telah diberi legitimasi untuk melakukan pembaharuan sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system) yang ada saat ini sehingga seluruh data Wajib Pajak akan terintegrasi secara akurat.

Pembenahan sistem ini juga dilakukan dalam rangka mengimplementasikan pertukaran data keuangan otomatis antar-negara untuk keperluan perpajakan yang dikenal sebagai Automatic Exchange of Information (AEoI) yang telah disepakati pada 2018 lalu. AEoI ini merupakan komitmen dari negara-negara yang tergabung dalam The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), termasuk di dalamnya Indonesia.

Pembaharuan sistem inti administrasi perpajakan yang memungkinkan terintegrasinya basis data perpajakan tak hanya akan memberi kemudahan kepada Wajib Pajak dalam melakukan kewajibannya, juga memberi kemudahan kepada Ditjen Pajak dalam mempelajari proses bisnis utama yang dilakukan Wajib Pajak. Bahkan, pembaruan NPWP menggunakan e-taxpayer account dilakukan agar Wajib Pajak yang memiliki NPWP mendapat kemudahan seperti jika memiliki rekening di bank.

Namun, pembaruan sistem informasi di Ditjen Pajak juga harus didukung instansi dalam negeri lainnya agar tak sekadar menjadi omong kosong belaka. Jika pertukaran informasi keuangan secara otomatis antarnegara memungkinkan Ditjen Pajak mengetahui data Wajib Pajak di negara lain, maka untuk memudahkan Ditjen Pajak mengakses data dalam negeri dukungan dari instansi lain mutlak diperlukan.

Ini adalah pekerjaan rumah yang berat, tanpa dukungan data dari instansi lain, pembaharuan sistem informasi dan penggunaan e-taxpayer account menjadi tak bertaring. Untuk itu, pihak perbankan dan lembaga keuangan lainnya, Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Ditjen Perdagangan, Ditjen Imigrasi, Badan Pertahanan Nasional (BPN), dan instansi terkait lainnya harus ikut berkomitmen.

Dari segi teknisi sistem model e-filling dan e-taxpayer, Ditjen Pajak juga harusnya sudah mulai untuk berintegrasi dengan para teknisi di bidang IT guna membangun sistem e-filling dan e-taxpaye account yang baik dan lebih efisien.Mulai dari perbaikan jaringan internet hingga sistem pengisian e-filling yang dapat dengan mudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya mereka yang masih jarang tersentuh oleh teknologi.

Hal penting lainnya adalah sosialisasi risiko wajib pajak apabila tidak melaporkan SPT dan pentingnya melaporkan SPT kepada petugas pajak supaya ada rasa kepedulian dari wajib pajak khususnya mereka yang tinggal di perdesaaan agar mau melaporkan SPT nya.

Tak hanya itu dibutuhkan pula role model yang bisa dijadikan sebagai panutan dalam membayar pajak juga dibutuhkan untuk menarik dan menumbuhkan minat masyarakat. Yang paling penting adalah revolusi birokrasi di kalangan petugas pajak guna menindak dan memberlakukan wajib sistem perpajakan dengan adil kepada seluruh wajib pajak yang ada di Indonesia.

Dengan begitu, masyarakat tidak perlu merasa diresahkan dengan banyaknya akrobat kasus pajak yang tidak berkesudahan dan bisa menaruh perhatian terhadap pemerintah.

Adapun jika langkah di atas juga tidak kunjung mendongkrak minat masyarakat maka dirasa dengan menaikkan jumlah denda atau sanksi adalah salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah. seperti kita ketahui bersama bahwa sanksi dan konsekuensi bagi yang telat maupun tidak melaporkan SPT berdasarkan ketentuan UU No.28/2007 maka ditetapkan bahwa sanksi yang terlambat atau tidak melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilannya sebesar Rp100.000 dan wajib pajak badan usaha Rp1.000.000.

Pada akhirnya ini adalah jalan panjang mengejar target 85 persen pelaporan SPT tahun ini. Dan ini merupakan pekerjaan berat yang harus dikerjakan pemerintah. Oleh karena itu diperlukan usaha dan kerja keras untuk mengejar target tersebut agar tercapai pada tahun ini.

*) Penulis adalah peneliti ekonomi The Indonesian Institute dan alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Baca juga: Ditjen Pajak ingatkan batas akhir penyampaian SPT

Baca juga: Menteri Agama dan menteri lainnya serahkan SPT di Kemenkeu

Copyright © ANTARA 2019