"Hak memilih sebagai hak konstitusional yang harus dilindungi tidak boleh dihambat, dihalangi, ataupun dipersulit oleh ketentuan prosedur administratif apapun," ujar kuasa hukum para pemohon M. Razif di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis.
Kendati demikian hak tersebut dinilai pemohon telah terganjal Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.
"Bahwa pasal-pasal tersebut adalah ketentuan yang secara prosedur administratif menghambat, menghalangi, dan mempersulit warganegara untuk menggunakan hak dalam pemilu, oleh karena itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945," tambah Razif.
Selain itu, Razif menyebut masih banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara, tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik.
Syarat KTP elektronik juga dinilai para pemohon berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, serta beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.
"Kami berpendapat untuk menyelamatkan suara-suara pemilih yang perlu dibuat dasar hukum pembentukan TPS Khusus, yaitu TPS yang dibuat berbasis DPTb, pada lokasi dimana para pemilih demikian berada," jelasnya.
Untuk memasukkan aturan hukum penyelamatan tersebut, Pemohon meminta Mahkamah memaknai secara bersyarat pasal yang berkaitan dengan TPS dan jaminan prinsip pemilu yang luber.
"Hal ini untuk memberikan akses seluas dan semudah mungkin bagi pemilih," pungkas Razif.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 20/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh Perludem, Hadar Nafis Gumay, Feri Amsari, Augus Hendy, A. Murogi bin Sabar, Muhamad Nurul Huda, dan Sutrisno.
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019