ratifikasi perjanjian perdagangan internasional merupakan bentuk kepanikan dari pemerintah karena kinerja ekspor yang terus melambat sehingga perjanjian perdagangan internasional seolah-olah diharapkan menjadi jalan keluarnya
Jakarta (ANTARA) - Indonesia for Global Justice (IGJ) mendesak DPR RI agar menunda proses ratifikasi berbagai perjanjian perdagangan internasional yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia dan berbagai pihak agar isi perjanjian tersebut benar-benar dapat ditelaah lebih saksama.
"Hari ini juga kami telah mengirimkan surat kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan Ketua Komisi VI DPR RI Teguh Juwarno untuk menyampaikan pandangan kami," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis.
Menurut Rachmi, dengan surat terbuka dari berbagai elemen yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi itu ingin mendesak DPR untuk tidak melanjutkan atau menunda proses ratifikasi di tahun pemilu ini.
Hal itu, ujar dia, antara lain mengingat pada tahun 2019 ini akan membuat banyak wakil rakyat, terutama mereka yang kembali bertarung dalam pemilu legislatif, untuk lebih fokus dalam kegiatan di dapilnya masing-masing.
Ia berpendapat bahwa ratifikasi perjanjian perdagangan internasional merupakan bentuk kepanikan dari pemerintah karena kinerja ekspor yang terus melambat sehingga perjanjian perdagangan internasional seolah-olah diharapkan menjadi jalan keluarnya.
Koalisi, lanjutnya, juga tidak ingin DPR terkesan hanya sekadar menjadi stempel pemerintah apalagi dampak perjanjian perdagangan bukan hanya dalam hal ekspor-impor.
Koordinator Riset dan Advokasi IGJ Rahmat Maulana Sidik mengingatkan bahwa kewenangan DPR sangat penting mengingat luasnya dampak perjanjian perdagangan internasional.
Selain itu, tidak ada bukti bahwa investasi akan meningkat dengan adanya perjanjian perdagangan karena hal tersebut hanya bentuk komitmen dari pemerintah kepada investor, tetapi bukanlah suatu kewajiban bagi investor untuk menanamkan sahamnya di negara yang meratifikasi perjanjian itu.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita menyatakan pembahasan dan perundingan perjanjian perdagangan dengan berbagai negara lain untuk melesatkan ekspor Indonesia perlu digenjot sebagai upaya mengatasi defisit.
"Sebelumnya kita sudah delapan tahun tidak ada perjanjian perdagangan baru, yang saat ini hanya menghidupkan yang lama-lama," kata Enggartiasto Lukita dalam kunjungannya ke Washington DC, Amerika Serikat, medio Januari 2019 lalu.
Menurut dia, ada berbagai kerugian dengan minimnya langkah Indonesia dalam melakukan perjanjian perdagangan dengan negara lain.
Mendag mencontohkan Vietnam mengungguli komoditas yang sama dengan Indonesia di pasar Amerika Serikat (AS) karena negara itu telah memiliki perjanjian perdagangan dengan AS, sehingga tarif bea masuknya lebih murah bahkan nol persen.
"Presiden telah mengingatkan untuk segera diselesaikan (perjanjian perdagangan)," ujar Mendag.
Ia menyadari bahwa untuk membuat perjanjian perdagangan dengan suatu negara atau sebuah kawasan bukanlah hal yang mudah, karena ada tahap internal yang harus dilakukan yaitu sinergi antarkementerian/lembaga hingga bernegosiasi dengan sejumlah mitra pemangku kepentingan.
Mendag menargetkan pada 2019 bisa menyelesaikan 13 perjanjian perdagangan.
Baca juga: IGJ sebut dampak perjanjian perdagangan tidak hanya ekspor-impor
Baca juga: Kebijakan ekonomi terbuka sektor pangan dinilai menguntungkan elite
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019