"Mengapa yang digunakan terminologi kekerasan, bukan kejahatan. Karena Indonesia sudah ada komitmen terhadap konvensi yang dianut seluruh dunia," kata Nur dalam Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta, Kamis.
Konvensi yang Nur maksud adalah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1979, yang menggunakan terminologi kekerasan.
Selain Konvesi tersebut, Indonesia juga sudah menggunakan terminologi "kekerasan" dalam peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
"Terminologi kekerasan bukanlah bahasa pergaulan sehari-hari, tetapi bahasa hukum dan bahasa komitmen negara," tuturnya.
Menurut Nur, hal lain yang juga dipahami salah dari definisi yang ada dalam naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah frasa "hasrat seksual".
"Hasrat seksual kemudian dipahami menjadi lesbian, gay, biseksual dan transgender atau LGBT. Padahal tidak seperti itu sama sekali," katanya.
Nur menegaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan menjadi titik penting dalam mencegah, memulihkan korban dan menghapus kekerasan seksual serta menindak pelakunya.
Selain itu, juga meletakkan kewajiban pemerintah, melibatkan dunia usaha, masyarakat, keluarga dan korban untuk mencegah dan menghapuskan kekerasan seksual.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengadakan Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan menghadirkan tiga narasumber.
Selain Sri Nurherwati, narasumber lainnya adalah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Topo Santoso dan pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid Arjawinangun Cirebon KH Husein Muhammad.
Baca juga: Komnas: perempuan korban kekerasan masih sulit akses keadilan
Baca juga: Komnas Perempuan sebut persepsi tentang kekerasan seksual sangat lemah
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019