"Kebutuhan 'precision medicine' semakin nyata karena bisa mendeteksi karakteristik penyakit masing-masing individu," kata Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti dalam Workshop Bimbingan Teknis Dosen Bidang Kesehatan dengan tema "Penanganan Kanker Berbasis Precision Medicine" di Yogyakarta, Rabu.
Menurut Ghufron, di negara-negara tetangga seperti Singapura sangat memperhatikan dan telah menerapkan sistem pengobatan presisi. Dengan diagnosis dan pola pengobatan seperti itu bisa lebih tepat sasaran karena karakteristik penyakit pesien tidak bisa disamakan satu dengan lainnya.
"Di Singapura sudah mulai ke 'precision medicine', cuma karena memang penduduknya di sana sedikit dan sumber dayanya banyak. Sedangkan di Indonesia jumlah penduduknya besar sehingga kita harus memikirkan," kata dia.
Sebagai konsekuensi memasuki era Revolusi Industri 4.0, menurut dia, dengan teknologi terbaru produksi obat-obatan bisa berbeda-beda menyesuaikan denan kebutuhan presisi masing-masing pasien.
Keuntungannya, menurut dia, kebutuhan obat-obatan akan lebih hemat karena obat yang akan diberikan kepada pasien lebih akurat sesuai dengan karakteristik penyakitnya.
Menyongsong era tersebut, ia mengatakan, Kemenristekdikti mulai menyiapkan berbagai kebutuhan inovasi teknologi yang diperlukan termasuk para dosen yang akan mencetak dokter yang memiliki kompetensi dalam diagnosis dan pengobatan presisi.
Bekerja sama dengan Unitersitas Nottingham, Inggris dan Fakultas Kedokteran UGM, Kemenristekdikti mendatangkan para ahli di bidang pengobatan presisi dari Unitersitas Nottingham untuk memberikan bimbingan teknis penanganan kanker berbasis pengobatan presisi.
Bimtek yang berlangsung selama tiga hari di Yogyakarta itu diikuti oleh 57 dosen yang berasal dari berbagai institusi di Tanah Air.
Asisten profesor di Fakultas Teknik, Unitersitas Nottingham, Inggris, Bagus Muljadi mengatakan pihaknya tengah berupaya membantu meningkatkan kapasitas dan kemampuan tenaga kesehatan, khususnya dokter di Indonesia.
Pengobatan presisi, kata Bagus, merupakan ciri khas era Revolusi Industri 4.0. Pengobatan dengan sistem itu dibutuhkan dengan mempertimbangkan dua hal, yakni ketepatan medis dan biaya.
"Pengobatan yang sifatnya individual itu sangat dibutuhkan saat ini. Tak ada orang memiliki penyakit sama dengan tetangga. Dengan pengobatan presisi tidak membuang uang untuk bolak-balik berobat. Pengobatannya lebih tepat," kata Bagus yang juga Direktur Indonesia Doctoral Partnership Program (IDTP) ini.
Baca juga: Lembaga Eijkman: Indonesia masuki era pengobatan presisi
Baca juga: Indonesia adopsi penanganan penyakit kanker di tingkat Asia
Baca juga: Pemerintah siapkan fasilitas penanganan kanker tingkat regional
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019