Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan sejak Hakim Agung Artidjo Alkostar pensiun pada Mei 2018, narapidana korupsi berbondong-bondong mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
"Hampir keseluruhan narapidana yang mengajukan PK tersebut justru mendaftarkan permohonannya sesaat setelah Hakim Artidjo purna tugas per Mei 2018 lalu," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu.
ICW mencatat sebanyak 24 terpidana kasus korupsi tengah menempuh dan mengajukan upaya hukum luar biasa, yakni Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung agar narapidana korupsi bisa lolos dari jeratan hukum pidana korupsi.
"Namun sejak Artidjo purna tugas, sebanyak 21 narapidana korupsi mengajukan PK ke MA, namun tiga narapidana lainnya mengajukan PK sebelum Artidjo pensiun," tuturnya.
Menurut dia, selama bertugas di MA, Hakim Artidjo memang sosok hakim yang cukup ditakuti oleh koruptor. Bukannya memperingan, upaya banding yang dilakukan koruptor saja justru malah diperberat jika ditangani olehnya.
"Terkait dengan PK, rekam jejak Artidjo pun patut untuk diapresiasi. Kami mencatat sejak 2009 sampai Artidjo pensiun sedikitnya ada sepuluh narapidana korupsi yang ditolak permohonan PK-nya," ujarnya.
Terhitung sejak periode 2007 sampai 2018, ada sebanyak 101 narapidana yang dibebaskan, 5 putusan lepas, dan 14 dihukum Iebih ringan daripada tingkat pengadilan pada fase PK.
Artidjo sendiri dikenal sebagai seorang Hakim Agung sekaligus Ketua Kamar Pidana yang kerap memberikan vonis berat pada pelaku korupsi. Terhitung sejak bertugas di MA, Artidjo telah menyidangkan 842 pelaku korupsi dengan mayoritas putusan tergolong sangat berat.
Ketegasan Artidjo pernah dirasakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Saat itu permohonan kasasinya ditolak sehingga dirinya tetap dihukum seumur hidup.
Selain itu, ada nama Luthfi Hasan lshaaq (LHI), mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, yang menerima keputusan serupa. Sebelumnya, LHI divonis 16 tahun, akan tetapi MA memperberat vonisnya menjadi 18 tahun dan menambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.
ICW sendiri menilai, PK sejatinya memang merupakan hak dari narapidana yang dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi tidak jarang PK justru dimanfaatkan oleh pelaku korupsi sebagai salah satu jalan pintas agar terbebas dari jerat hukum.
Padahal, dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP telah tegas mengatur mengenai syarat jika seseorang ingin mengajukan PK, yakni pertama jika terdapat keadaan/novum baru, kedua putusan yang keliru, dan ketiga ada kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan.
"Namun dalam beberapa kesempatan syarat itu kerap diabaikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat," ujarnya.
Dari catatan ICW, 24 terpidana korupsi yang saat ini tengah mengajukan PK, merupakan terpidana korupsi yang berasal dari berbagai macam latar belakang kasus.
Diantaranya, Rico Diansari (perantara suap gubernur Bengkulu) yang dihukum selama 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta, Bupati Rokan Hulu Suparman (menerima suap RAPBD) yang divonis 4,5 tahun dan denda Rp200 juta, Wakil Rektor UI Tafsir Nurchamid (pengadaan barang dan jasa proyek instalasi infrastruktur teknologi informasi gedung perpustakaan UI) yang divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Anas Urbaningrum (korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang) dengan bonus 14 tahun penjara denda Rp5 miliar, uang pengganti Rp57 miliar dan 5 juta dolar AS; mantan Menkes Siti Fadilah Supari (pengadaan alat kesehatan) yang divonis 4 tahun penjara denda Rp200 juta uang pengganti Rp1, 9 miliar; mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (korupsi penyelenggaraan haji) yang divonis 10 tahun penjara denda Rp300 juta uang pengganti Rp1, 8 triliun.
Choel Mallarangeng (korupsi proyek pembangunan P3SON di bukit Hambalang) yang divonis 3,5 tahun penjara denda Rp250 juta; mantan anggota DPRD Sumut Guntur Manurung (suap DPRD Sumut) yang divonis 4 tahun penjara denda Rp200 juta uang pengganti Rp350 juta; Direktur Keuangan PT PAL Saiful Anwar (suap penjualan kapal perang SSV kepada instansi pertahanan Filipina) yang divonis 4 tahun penjara denda Rp200 juta.
Mantan Menteri ESDM Jero Wacik (korupsi dana operasional menteri) yang divonis 8 tahun penjara denda Rp300 juta uang pengganti Rp5 miliar; mantan Ketua DPD RI Irman Gusman (suap gula impor) yang divonis 4,5 tahun penjara denda Rp200 juta; mantan Hakim MK Patrialis Akbar (suap JR UU Peternakan dna Kesehatan Hewan) yang divonis 8 tahun penjara denda Rp300 juta uang pengganti 10 ribu dollar AS dan Rp4 juta; dan mantan anggota DPR RI Dewie Yasin Limpo (suap pembahasan anggaran proyek pembangkit listrik mikrohidro di Kabupaten Deiyai) yang divonis 8 tahun penjara denda Rp200 juta.
"Sejak tahun 2018, mereka mengajukan PK ke MA," kata Kurnia.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019