Washington (ANTARA News) - Pemimpin dunia mengutuk pemboman yang ditujukan kepada mantan perdana menteri Pakistan Benazir Bhutto, yang menewaskan sedikitnya 125 orang, dan mendesak negara itu agar bersatu dalam menghadapi tragedi tersebut. Amerika Serikat, yang menganggap Pakistan sebagai sekutu berharga dalam "perangnya melawan teror", mengatakan ledakan itu ditujukan untuk mencekik kemerdekaan di negeri tersebut tapi tak boleh dibiarkan menggelincirkan pemilihan umum yang akan diselenggarakan. "Amerika Serikat mengutuk serangan di Pakistan dan berduka atas hilangnya nyawa orang yang tak bersalah di sana," kata juru bicara Keamanan Nasional Gedung Putih Gordon Johndroe. "Kaum fanatik takkan dibiarkan menghentikan rakyat Pakistan memilih wakil mereka melalui proses yang terbuka dan demokratis," katanya. Secara sepisah Departemen Luar Negeri AS mengatakan Washington mendukung rakyat Pakistan untuk menghilangkan ancaman terorisme dan membangun "masyarakat yang terbuka, demokratis dan damai". "Mereka yang bertanggung jawab hanya berusaha menyebar ketakutan dan membatasi kebebasan," kata jurubicara Departemen Luar Negeri Tom Casey. "Tak ada alasan politik yang dapat membenarkan pembunuhan orang yang tak bersalah." Australia, sekutu dekat lain AS, menyatakan serangan tersebut memiliki ciri jaringan Al-Qaeda, pimpinan Osama bin Laden. "Itu adalah pengingat mengenai kejahatan Al-Qaeda. Itu adalah pengingat mengenai betapa pentingnya untuk tidak menyerahkan kemenangan kepada mereka di Irak atau di Afghanistan," kata Perdana Menteri Australia John Howard. Howard mengatakan Al-Qaeda menentang kerjasama Presiden Pervez Musharraf dengan Amerika Serikat. "Benazir Bhutto ..., serta Jenderal Musharraf telah mengatakan mereka akan terus mendukung pemerintah Amerika dalam perang melawan teror," katanya. Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer juga menyatakan kelompok garis keras itu berada di belakang ledakan tersebut, serangan bunuh diri paling buruk dalam sejarah Pakistan. "Tak ada keraguan bahwa Al-Qaeda akan sanggat tersinggung dengan kemungkinan seorang perempuan memegang peran pimpinan dalam politik di Pakistan di satu negara Muslim," katanya kepada AFP.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007