Jakarta (ANTARA) - Kehadiran Indonesia sebagai Market Focus Country di ajang pasar buku internasional London Book Fair 2019, diisi dengan sejumlah acara, salah satunya panel diskusi di British Library yang menghadirkan Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, dan Agustinus Wibowo, Senin (11/3) waktu setempat.
Acara diskusi dengan judul “17.000 Islands of Imagination: Indonesian Literature Today” ini dipandu oleh Louise Doughty, penulis dan kritikus dari Inggris yang telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karyanya.
Salah satu bahasan dalam diskusi yang berlangsung hampir dua jam itu adalah mengenai identitas.
Seno Gumira Ajidarma menilai identitas adalah definisi yang tak bisa diisolasi kecuali dalam sebuah buku paspor. Bahkan ia menilai, pertanyaan-pertanyaan akan identitas sering kali membawa persoalan pada hidup.
Sementara Agustinus menilai bahwa identitas adalah sebuah persepsi, di mana pandangan ini ia peroleh dari pertanyaan dan pencariannya akan rumah yang membawanya melakukan perjalanan ke China, Afghanistan dan negara-negara lainnya.
Sedangkan Dewi Lestari menyampaikan bahwa identitas adalah pencarian akan tujuan hidup di mana ia mendapatkan pertanyaan-pertanyaan filosofis ini yang mempengaruhi di semua karya-karyanya.
Ketiganya juga menyampaikan betapa kebudayaan yang bercampur dalam kehidupan mereka, membentuk jawaban-jawaban atas pertanyaan tentang Indonesia.
Agustinus sebagai penulis berketurunan China, mencoba mencari identitasnya hingga memutuskan tinggal di negara China selama sembilan tahun.
“Tetap saja saat di sana, sebagai pemegang paspor Indonesia, saya merasa terasing,” kata Agustinus dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Rabu.
Sementara Seno yang lahir di Amerika Serikat, merasakan kehidupan sebagai manusia berdarah Jawa kembali ke Yogyakarta.
“Kemudian saya belajar bahasa Indonesia dan di bahasa ini saya menemukan pembebasan terutama dari bahasa Jawa yang penuh tata krama,” ujar Seno.
Adapun Dewi Lestari sebagai penulis berdarah Batak, justru merasa dirinya lebih memahami bahasa dan budaya Sunda karena lahir dan dibesarkan di Bandung, Jawa Barat.
“Namun saya tumbuh dengan membaca buku-buku Barat, seperti karya-karya Enid Blyton. Dan saya rasa sejak muda saya sudah terpapar oleh globalisasi,” ujar Dewi.
Selain berdiskusi, ketiganya juga membacakan cuplikan-cuplikan karya mereka masing-masing.
Agustinus membacakan sepotong tulisannya tentang Tana Toraja, Seno membacakan cuplikan karya Saksi Mata, dan Dewi Lestari membacakan serta menyanyikan bagian novel terbarunya Aroma Karsa.
Diskusi dan pembacaan karya ini menambah pemahaman menarik bagi publik Inggris yang memadati ruang Knowledge Centre di British Library, akan keberagaman budaya di Indonesia.
Di acara yang diselenggarakan bekerja sama antara Badan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, British Library, dan British Council ini, Ketua Harian Panitia Pelaksana Indonesia Market Focus Country untuk London Book Fair 2019, Laura Bangun Prinsloo menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung acara ini. “Kami mengharapkan kedatangan publik Inggris di 100 lebih acara yang telah kami susun untuk London Book Fair 2019,” ujar Laura.
Sementara Kepala Bekraf Triawan Munaf yang memberikan pidato penutup, turut menyampaikan harapannya akan kesuksesan acara ini mengingat industri penebitan memiliki potensi besar di industri kreatif Indonesia.
“Industri penerbitan memberikan kontribusi cukup besar bagi GDP, di mana penerbitan menempati urutan kelima,” ujar Triawan Munaf yang kemudian memperkenalkan penulis-penulis Indonesia lainnya yang akan tampil di acara-acara selanjutnya di ajang Indonesia Market Focus Country untuk London Book Fair 2019.
Selain acara diskusi, Panitia Pelaksana Indonesia Market Focus Country untuk London Book Fair telah menyelenggarakan sejumlah acara sejak 8 Maret 2019.
Di antaranya, pelajaran bahasa Indonesia dan pertunjukan musik kecapi suling di toko buku Foyles, pameran arsitektur di ruang-ruang publik dengan tema New Ways of Reading, The Indonesian Kebaya and Dressing with Cloth oleh Didiet Maulana di Kedutaan Inggris, dan Indonesian Board Games di Draughts Board Game Café di Waterloo, London.
The London Book Fair (LBF) adalah ranah pemasaran global bagi negosiasi hak cipta yang meliputi penjualan dan distribusi konten-konten intelektual dan kreatf meliputi bidang cetak, audio, TV, film, dan jaringan-jaringan digital.
LBF 2019, yang merupakan bursa ke-48, berlangsung di Olympia London pada 12-14 Maret 2019.
Baca juga: Kepala Bekraf ingin literatur Indonesia digemari dunia
Baca juga: Sastra Indonesia di LBF 2019
Baca juga: Triawan buka Paviliun Indonesia di London Book Fair 2019
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019