Para kandidat, baik pasangan calon presiden/wakil presiden maupun calon anggota DPR/DPD, sejak 4 bulan yang lalu mulai saling merebut hati rakyat dengan melakukan berbagai kegiatan membangun pencitraan.
Jika kita amati, terutama di wilayah pilpres, pencitraan politik yang yang dilakukan selama ini terbagi dalam dua strategi, yaitu petahana (incumbent) versus penantang (challenger). Yang pertama menunjukkan pencapaian sehingga perlu untuk diteruskan, sementara "challenger" menunjukkan kegagalan-kegagalan kebijakan pemerintah sehingga tema kampanyenya adalah perubahan untuk digantikan secara konstitusional. Dua strategi itulah, pencitraan politik dilakukan untuk meraih simpati dan kepercayaan publik melalui berbagai ragam aksi.
Strategi "challenger", pada rangkaian kampanye Pemilu 2019, terlihat dari apa yang dilakukan Prabowo/Sandi lebih banyak mengkritik pemerintah, dalam ungkapan-ungkapannya seperti, "daya beli masyarakat yang terus merosot" atau "Indonesia bubar, Indonesia akan punah".
Selain melontarkan kritik, Prabowo/Sandi juga giat melakukan berbagai safari politik dengan mengunjungi desa terpencil, tempat pelelangan ikan, pasar, untuk mengukuhkan citra politiknya sebagai figur yang peduli terhadap wong cilik, dan berbagai tema kemiskinan lain, yang kemudian mengiklankan diri di berbagai media massa.
Sebenarnya, proses politik pencitraan bukan sekadar memoles wajah seseorang supaya karakternya makin menguat, melainkan harus dibarengi dengan meningkatkan kualitas tokoh tersebut. Inilah sebenarnya pekerjaan rumah bagi capres/cawapres.
Selain itu, capres/cawapres sebagai tokoh politik juga harus memiliki kepribadian yang hangat dan bisa mendekatkan dirinya dengan publik, tidak hanya dekat ketika menjelang pemilu, hendaknya kedekatan ini dibangun sejak dini sehingga tercipta kedekatan emosional. Tokoh tersebut sebaiknya juga bisa menjadi pendengar yang baik, yang mampu mendengarkan segala aspirasi dari publik. Tidak hanya di hadapan publik, tokoh tersebut juga harus mampu menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh media dengan lugas.
Kesuksesan blusukan tokoh politik ke tempat-tempat kumuh akan menghasilkan citra yang bagus kalau itu dilakukan dari hati, tidak dibuat-buat, bukan basa-basi, dan bukan sekadar pencitraan semata. Publik sudah pintar dan bisa menilai mana yang benar-benar dilakukan karena memang kepeduliannya atau sekadar pencitraan semata yang pemberitaannya manis di media.
Media dan Politik Pencitraan
Dalam dunia politik modern, media massa ditempatkan pada posisi strategis sebagai alat komunikasi politik, mengingat makin menguatnya hegemoni media di dalam seluruh aktivitas politik. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penetrasi teknologi komunikasi yang praktis mengubah seluruh tatanan kehidupan sosial manusia.
Saat ini media tidak lagi sekadar alat komunikasi politik saja, tetapi juga sebagai "politik" itu sendiri. Sama dengan peran uang, yang tidak lagi sekadar alat pembayaran jasa kegiatan politik, tetapi sudah menjelma sebagai politik itu sendiri. Begitulah kuatnya peran media di dalam dunia politik sehingga seakan-akan politik modern sama sekali tidak pernah dan tidak bisa berjalan tanpa adanya peran media, terutama media massa.
Pencitraan sebagai salah satu produk utama media dan alat komunikasi politik yang ditujukan untuk membentuk citra atau gambaran tertentu di dalam persepsi publik. Pencitraan ini bisa ditujukan pada objek figur politik, partai politik, isu politik dan lain-lain. Citra atau gambaran ini dimodifikasi oleh media sedemikian rupa sehingga bisa mengubah satu persepsi terhadap objek yang sama menjadi bertolak belakang atau berubah hingga 360 derajat.
Di sinilah kita mengenal istilah "realitas nyata" atau "realitas asli" (genuine reality) dan "realitas maya" (virtual reality) atau "realitas palsu" (pseudo reality) yang berupa "realitas media".
Pemanfaatan media yang tepat juga akan membantu meningkatkan "branding" tokoh politik. Perkembangan media yang cukup pesat seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik dalam melakukan praktik politik pencitraan. Maraknya pengunaan internet juga bisa dilirik dalam praktik politik pencitraan karena sifatnya yang sangat cepat dalam menyebarkan informasi dan biaya yang dikeluarkan jauh lebih murah daripada media televisi.
Para tokoh politik sudah mulai menyadari pentingnya media sosial untuk mendekatkan diri ke publik. Sebagai contoh, mantan Presiden AS Obama, yang sukses mendekatkan dirinya ke publik melalui media sosial. Tidak hanya di media sosial Facebook, dia juga berkomunikasi ke publiknya melalui Twitter. Pengunaan media sosial ini sangat efektif karena media sosial bisa mengejar atensi publik secara luas. Tidak hanya anak muda yang menjadi target publiknya, tetapi masyarakat secara luas juga mengakses media sosial tersebut dikarenakan kemudahan akses internet dan lahirnya gadget yang memudahkan kita untuk online.
Bila ada berita di media mengenai calon presiden, kemudian banyak komentar miring yang menuduh situasi tersebut sebagai pencitraan, upaya pencitraan itu tergolong gagal. Ujung-ujungnya upaya pencitraan malah kerap dijadikan sindiran dan bahkan bahan olok-olokan. Padahal, sebagai calon pemimpin, kita memang membutuhkan pencitraan diri positif agar bisa sukses dan efektif di pekerjaan kita.
Dampak positif dari pencitraan adalah adanya partisipasi politik masyarakat, yang banyak memberikan antusias terhadap masyarakat, terutama di kalangan politikus, dan merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi.
Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh Pemerintah menyangkut dan memengaruhi kehidupan warga negara, masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan yang memengaruhi hidupnya untuk menentukan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
Kesadaran akan adanya partisipasi politik menjadi faktor penting dalam warga negara (masyarakat). Maka dari itu, pemerintah harus memperhitungkan berbagai hal yang berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran hak dan kewajiban yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat dan kegiatan politik menjadi ukuran dan kadar seseorang terlibat dalam proses partisipasi politik.
Pentingnya Memilih
Jika pencitraan yang dibangun Jokowi adalah "kerja, kerja, dan kerja", sementara Prabowo memilih citra sebagai figur yang "tegas", melalui media massa masing-masing kandidat sebenarnya ingin meraih suara sebanyak-banyaknya untuk menduduki orang nomor satu di negeri ini.
Maka dari itu, menentukan hak pilih dalam pilpres merupakan sikap yang paling dituntut dalam sistem demokrasi di Indonesia. Kalimat filosofis dari demokrasi sering disebut dengan one man one vote", mengandung makna bahwa perubahan politik akan terwujud bila rakyatnya turut memberikan hak pilih sebagai warga negara dalam mencapai tujuan negara. Dampak dari menentukan hak pilih sangat menentukan nasib sebuah negara.
Bagi pemilih yang merasa pesimistis dalam menghadapi kontestasi politik menganggap bahwa sikap dalam menentukan hak pilih tidaklah berdampak luas. Dengan alasan bahwa yang merasa senang dan bahagia dari hasil pilpres hanya milik sebagian kelompok saja. Tentunya kerangka berpikir demikian harus dihilangkan dalam ruang publik.
Sikap menentukan hak pilih merupakan tindak lanjut dari penilaian masyarakat dalam memahami orientasi kebijakan dari pasangan calon (paslon) pemimpin yang disampaikan pada masa kampanye. Tanpa disadari, pada waktu berkampanye, semua program politik yang ditawarkan sangat bermanfaat bagi kemaslahatan umum. Akan tetapi, wujud nyata dari yang dikampanyekan tersebut masih bersifat misteri. Maka dari itu, untuk memahami kesesuaian antara kampanye dan perwujudan substansial kampanye tersebut sangat ditentukan oleh sikap masyarakat dalam menentukan hak pilihnya secara profesional dan rahasia.
Sudah seharusnya para pemilih di dalam Pilpres 2019 wajib bersikap profesional. Kita sudah geram dengan berbagai kasus penyelewengan kekuasaan oleh oknum-oknum elite politik di negeri ini. Sudah saatnya masyarakat memegang control power dalam kontestasi pilpres ini.
Momen pilpres dapat dijadikan pintu awal untuk mentransformasikan kualitas kesejahteraan rakyat, baik kesejahteraan dalam bentuk perekonomian, pendidikan, politik, kesehatan, maupun keagamaan. Maka dari itu, tidak berlebihan rasanya jika penulis mengulang pepatah lama, "lima menit salah dalam menentukan pilihan, maka 5 tahun akan menanggung akibatnya". Begitu pula sebaliknya. Selamat memilih!
*) Penulis adalah Dosen Komunikasi Politik pada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang
Baca juga: Jokowi-Ma'ruf peroleh dukungan ulama dan jawara Betawi
Baca juga: PAN Papua dukung Prabowo-Sandi raih kemenangan
Copyright © ANTARA 2019