"Untuk buzzer-buzzer yang bekerja di lini depan, yang menganggap buzzer sebagai sebuah profesi atau pekerjaannya biasanya dipekerjakan oleh agensi dengan bayaran UMR atau di bawah UMR," ujar Rinaldi kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Artinya, buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan, dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari.
Rinaldi menjelaskan bahwa industri buzzer politik memiliki tiga aktor utama yang memiliki perannya masing-masing.
Pertama, pengguna biasanya partai politik. Kemudian, perantara antara user dan buzzer yang biasanya digawangi agensi. Selanjutnya, di tingkatan paling bawa adalah buzzer.
Buzzer bisa bekerja secara individu bisa pula berkelompok dengan dikoordinatori oleh seorang buzzer.
Seorang koordinator buzzer, menurut Rinaldi, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Tenaga-tenaga buzzer yang direkrut biasanya adalah mahasiswa atau pelajar, sementara koordinator buzzer biasanya mereka yang lebih senior.
"Kampus-kampusnya bisa di sekitar Jakarta. Mereka (buzzer) biasanya karena memang mencari kerja. Karena motifnya uang dan masih minim pengalaman, tentunya gaji-gaji UMR sangat menarik bagi mereka," kata Rinaldi.
Namun CIPG tidak memiliki angka pasti seberapa besar industri buzzer politik dan jumlah buzzer politik yang digunakan oleh setiap kandidat pasangan calon.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019