"Setiap warga negara harus dijamin hak pilihnya, sehingga pemilu kita menjadi pemilu yang konstitusional karena satu pun suara pemilih tidak boleh tercederai," ujar Titi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Titi menilai terdapat beberapa pasal dalam UU 7/2017 (UU Pemilu) yang belum sepenuhnya mengakomodir hak pilih warga negara.
Regulasi terkait Pemilu dinilai Titi belum sepenuhnya menangkap fenomena sosial yang ada di tengah masyarakat, sehingga berpotensi menghilangkan jutaan suara pemilih.
"Entah karena memang faktor persyaratan ataupun kompleksitas teknis pelaksanaan di lapangan yang menjadi persoalan," kata Titi.
Lebih lanjut Titi mengatakan pihaknya mendaftarkan uji materi beberapa pasal dalam UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi, karena berharap aturan birokrasi yang rumit tidak menjadi hambatan pelaksanaan pemilu yang berkualitas.
Salah satu pasal yang diuji adalah Pasal 383 ayat (2) UU 7/2017, yang mengatur bahwa penghitungan suara harus selesai pada hari yang sama.
"Sementara itu Pemilu 2019 ini bebannya berlipat, karena ada 5 surat suara yang harus dihitung oleh penyelenggara pemilu kita," ujar Titi.
Berdasarkan pengalaman Pemilu 2014, Titi mengatakan pihaknya ingin memastikan jangan sampai kompleksitas dan beban teknis KPU menjadi kendala dalam pelaksanaan Pemilu 2019 yang berkualitas.
"Maka kami ingin menguji bahwa aturan tersebut memberi ruang yang lebih rasional kepada KPU untuk bekerja pada jajaran di lapangan, sehingga proses di lapangan itu betul-betul bisa berjalan baik tanpa hambatan teknis," kata Titi.
Baca juga: Perludem: kepastian hukum yang kuat penting untuk KPU
Baca juga: Hadar Nafis katakan kualitas Pemilu harus meningkat
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2019