"Seluruh organisasi kesehatan perlu berhati-hati terhadap strategi tersebut. Fikes Uhamka mengajak perguruan tinggi bersama-sama menangkal strategi industri rokok melalui kampanye pengurangan bahaya tersebut," kata Ony melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Fikes Uhamka juga menyerukan agar pemerintah serius menanggapi masalah produk tembakau baru tersebut dan bersama-sama dengan komunitas kesehatan dunia menolak tawaran kerja sama dari lembaga atau institusi yang membawa kepentingan industri rokok.
Ony mengatakan dalam diskusi bersama institusi kesehatan dan perwakilan perguruan tinggi, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan sudah banyak penelitian-penelitian baru yang membuktikan rokok elektronik berbahaya bagi kesehatan dan menyebabkan kecanduan.
"Banyak zat berbahaya yang tidak ada pada rokok konvensional, tetapi ada di rokok elektronik seperti formaldehid yang bisa menyebabkan kanker," tuturnya.
Apalagi, saat ini hampir semua industri rokok global sudah memiliki produk serupa rokok elektronik yang disebut "heated tobacco product".
Tidak seperti rokok elektronik yang memanaskan cairan nikotin, produk tersebut memanaskan tembakau dalam suhu tertentu dan dihisap sehingga dapat menyalurkan nikotin ke dalam tubuh.
"Produk-produk tersebut dipromosikan melalui kampanye pengurangan bahaya pada tingkat global," katanya.
Menurut Survei Indikator Kesehatan 2016, prevalensi pengguna rokok elektronik pada kelompok umur 10 tahun ke atas di Indonesia cukup tinggi, yaitu 3,5 persen untuk laki-laki dan 0,2 persen perempuan.
Studi kasus yang dilakukan Uhamka pada 2018 terhadap 767 siswa SMA di Jakarta mengungkapkan pengguna ganda, yaitu perokok konvensional sekaligus pengguna rokok elektronik mencapai 51,1 persen.
"Hal itu menunjukkan rokok elektronik menjadi alternatif produk untuk berhenti merokok tidak terbukti efektif dan bila dibiarkan bisa memunculkan epidemi baru," kata Ony. ***3***
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019