Angkutan umum massal adalah solusi sulit saat ini untuk masa depan yang lebih baikJakarta (ANTARA) - Pakar Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo menilai pembangunan tol merupakan solusi yang mudah untuk memperlancar lalu lintas, namun menimbulkan masalah yang lebih kompleks.
"Tol adalah solusi mudah saat ini untuk masalah masa depan yang lebih kompleks," kata Sony kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Ia menjelaskan jalan tol memang terlihat solusi lebih mudah dan murah dibandingkan angkutan massal, seperti MRT dan LRT karena masa konstruksi bisa cepat dan ada pendapatan dari tarif yang dapat dirasakan langsung oleh investor.
Namun, lanjut dia, adanya jalan tol hanya mendorong orang untuk lebih menggunakan mobil pribadi, jumlah mobil meningkat, dan jalan non-tol akan mendapat limpahan volume lalu lintas. Selain itu, dia menambahkan kebutuhan parkir akan semakin meningkat.
”Artinya, adanya tol memberi masalah bawaan yang memang tidak terasa di jalan tolnya, tetapi di luar sistem jalan tol,” katanya.
Untuk itu, Sony mengatakan jalan tol akan tetap penuh apabila tidak dikendalikan dari hulunya, seperti peningkatan pembayaran pajak dan lainnya.
"Jadi selebar atau sepanjang apapun jalan tol pasti akan penuh, kalau tidak ada kontrol dari hulunya, seperti peningkatan pembayaran pajak kendaraan dan lainnya,” katanya.
Di sisi lain, Sony menyoroti pembatasan kendaraan sulit dilakukan karena itu bukan ranah Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
“Ironi memang ini. Di saat Kementerian PUPR setengah mati buat jalan, Kemenhub susah payah atur lalu lintas, sementara Kemendag dan Kemenperin berusaha agar penjualan mobil dan motor terus meningkat. Dulu ada mobil murah, sekarang mobil motor dengan DP nol persen," katanya.
Untuk itu, Sony menyarankan agar pembangunan infrastruktur angkutan massal diprioritaskan, meskipun sulit dalam pembangunan dan pendanaan, namun memiliki dampak yang lebih baik ke depannya.
“Angkutan umum massal adalah solusi sulit saat ini untuk masa depan yang lebih baik," katanya.
Hal itu juga terkait dengan belum siapnya Tol Layang Jakarta-Cikampek yang dinilai belum siap digunakan dalam masa angkutan Lebaran 2019.
Melihat kemajuan pekerjaan atau progres hingga saat ini baru sekitar 70 persen, sementara mudik lebaran kurang dari 90 hari lagi.
Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menjelaskan dengan asumsi rata-rata progres mingguan satu persen, maka dalam satu bulan progres sebesar empat persen.
Artinya, perlu waktu sekitar delapan bulan penyelesaian lagi sejak Maret 2019 dan perkiraan selesai bulan Desember 2019. "Untuk mudik lebaran 2019, sangat tidak mungkin dapat digunakan," katanya.
Baca juga: Pengamat perkirakan Tol Layang Japek belum bisa untuk Lebaran 2019
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019