Thailand pada pekan ini mengetuk palu untuk Undang-Undang Keamanan Siber meskipun mendapat protes keras dari aktivis dan pengguna internet terkait masalah privasi dan pengawasan.
"Kami sudah memastikan undang-undang ini tidak akan diizinkan untuk melanggar hak asasi manusia dan tidak akan digunakan untuk kekuasaan," kata Sekretaris Tetap Kementerian Ekonomi Digital dan Masyarakat, Ajarin Pattanapanchai, dikutip dari Reuters, Minggu.
Thailand merupakan negara terbaru di Asia yang mengesahkan undang-undang keamanan siber, pemerintah negara tersebut membuat peraturan untuk melindungi jaringan dari serangan siber.
"Undang-undang tidak akan digunakan untuk mengatur media sosial atau komputer maupun perangkat milik perorangan," kata Pattanapanchai.
Baca juga: Hati-hati, email dan website bisa jadi sarang malware
Tapi, aktivis setempat menyebutnya sebagai "undang-undang bela diri siber", cyber martial law, karena berdampak pada privasi dan dikhawatirkan akan mengakibatkan perusahaan asing hengkang dari Thailand.
Para ahli berpendapat bahwa bahasa penulisan undang-undang tersebut tidak jelas dan multitafsir sehingga pihak berwenang dapat memberikan aksi yang berbeda terhadap tafsiran masing-masing, yang dikhawatirkan dapat melanggar HAM.
"Cakupan undang-undang tersebut sangat luas," kata Direktur Media Digital Institut Hukum di Kasembandit University, Kanathip Thongraweewong.
Pemerintah militer Thailand membuat sejumlah undang-undang yang bertujuan mendukung ekonomi digital, termasuk amandemen UU Kriminal Komputer 2017, yang akan menuntut pelaku tindak kriminal siber misalnya phishing.
Undang-undang tersebut juga digunakan untuk menindak pandangan yang berseberangan.
Baca juga: Microsoft perluas layanan keamanan siber ke 12 negara Eropa
Baca juga: Serangan siber intai jaringan telekomunikasi di tahun politik
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2019