"Sejauh ini kesempatan sama. Kemudian ada kekhusususan dan preferensi tertentu bagi putra kiai memang dari aspek sosiologis keberadaan NU tidak bisa dilepaskan dari pesantren dan dunia kesantrian," kata Niam di sela Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) di Banjar, Jumat.
Menurut dia, istilah "darah biru" dan "darah merah" dalam internal NU tidak bisa dilepaskan dari realitas pemasok utama kader NU dari kalangan pesantren. "Darah biru" biasanya merujuk pada kalangan kiai dan keluarganya sehingga memiliki hak spesial dalam organisasi NU.
Kendati demikian, Deputi Pengembangan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemepora) itu mengatakan penyebutan "darah biru" dan "darah merah" PBNU itu bukan persoalan besar dalam NU.
"Ada modernisasi dalam struktur orang NU bahwa siapapun Nahdliyin, memiliki kesempatan sama, baik dia anak kiai atau anak orang biasa, sepanjang memenuhi jenjang kaderasisasi pemasok kepengurusan dan kekaderan di NU," kata dia.
Dia mengatakan NU tidak bisa dilepaskan dari identitas khas pesantren yaitu santri dan kiai. Dalam proses keilmuan di pesantren ada hubungan pengasuhan sampai santri sebagai anak asuh kiai.
Kiai, kata dia, menjadi "bapak" bagi para santri sehingga ada hubungan tidak sekadar hubungan transfer ilmu pengetahuan tapi juga hubungan sosial santri dan kiai.
"Itulah yang membentuk pola relasi dalam kehidupan pesantren dan menjelma dalam kekaderan NU. Ada relasi kesantrian-kekiaian di dalam proses keberorganisasian di NU," kata dia.
Baca juga: Ketum PBNU tegaskan perbedaan kafir dan non-Muslim
Baca juga: PBNU dorong milenial NU produktif menulis
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019