Brisbane (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri (Menlu) Australia, Alexander Downer, menyatakan bahwa memahami alasan Pemerintah Indonesia mengeksekusi mati terpidana bom Bali. Downer menyatakan hari Jumat, bahwa dia tidak setuju penggunaan kata "gembira" ketika dimintai komentarnya mengenai hukuman mati yang akan dilaksanakan terhadap Amrozi, Ali Ghufron, Imam Samudera. Dia mengakan, lebih suka menggunakan ungkapan "dapat memahami mengapa Pemerintah Indonesia" mengeksekusi mereka, demikian laporan ANTARA News dari Brisbane. Mayoritas rakyat Australia akan memahami alasan Pemerintah Indonesia mengeksekusi Amrozi, Ali Ghufron, dan Imam Samudera yang telah membunuh 202 orang, termasuk 88 warga Australia, katanya. Pernyataan Menlu Downer itu disampaikannya kepada pers setempat bertepatan dengan peringatan lima tahun serangan kelompok Amrozi yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia. Ia menegaskan kembali sikap pemerintahnya yang tidak melobi negara lain yang menjatuhkan hukuman mati terhadap orang-orang seperti mantan Presiden Irak Saddam Hussein dan pemimpin Al Qaida Osama bin Laden. Mengenai apakah organisasi yang disebut "Jamaah Islamiyah" sudah tidak lagi menjadi ancaman serius di Asia Tenggara, Downer mengatakan kekuataannya secara substansial menurun namun tidak berarti JI "sudah tidak ada". "Seperti orang-orang intelijen katakan, kapasitasnya (JI) secara substansial menurun namun tidak bisa dikatakan (organisasi) itu sudah habis," katanya. Empat hari menjelang peringatan lima tahun serangan Bom Bali 2002, wacana politik domestik negara yang kehilangan 88 orang warganya dalam insiden itu sempat diramaikan oleh perdebatan hangat antara kubu Partai Buruh (ALP) dan pemerintah. Perdebatan itu dipicu oleh pidato Menlu Bayangan ALP, Robert McClelland pada 8 Oktober malam yang mengeritik tajam sikap ambivalen pemerintahan Howard yang menolak warganya dieksekusi di luar negeri namun mendukung hukuman mati bagi orang-orang seperti Osama bin Laden, Saddam Hussein, dan Amrozi. Menanggapi kritik McClelland itu, Howard mengatakan pemerintahnya menolak penerapan hukuman mati di Australia namun adalah urusan negara lain jika menerapkannya terlebih lagi kepada "orang-orang yang telah membunuh warga Australia". "Mustahil bagi saya pribadi baik sebagai warga Australia, Perdana Menteri, dan invididu untuk berpendapat bahwa eksekusi itu tidak usah dilakukan ketika mereka membunuh warga negara saya," katanya. Orang terakhir yang dihukum mati di Australia adalah Ronald Ryan pada 1967. Sejak lahirnya UU Penghapusan Hukuman Mati 1973, seluruh negara bagian di negara berpenduduk 20,2 itu telah meniadakan hukuman mati. McClelland mengatakan, pihaknya akan konsisten menolak hukuman mati bagi siapa pun, baik para teroris atau pun warga Australia yang terlibat kasus penyelundupan narkoba di luar negeri. Jika Partai Buruh memerintah Australia, maka pihaknya berjanji mengawali kampanye anti-hukuman mati di negara-negara, seperti China, Jepang, Indonesia, Malaysia, Vietnam dan Singapura. Tetapi, pidato McClelland itu justru dimanfaatkan kubu pemerintah untuk menyerang dirinya dan posisi Pemimpin Oposisi Kevin Rudd yang sempat secara terbuka menyayangkan "anak buahnya" itu karena dirasa tidak sensitif dalam soal waktu mengingat penyampaian pidato itu menjelang peringatan lima tahun insiden tersebut. Mendapat serangan yang bertubi-tubi dari banyak pihak, termasuk keluarga para korban Bom Bali 2002, McClelland akhirnya meminta maaf. "Saya minta maaf kepada siapa saja yang terluka hatinya, dan penyesalan ini disampaikan kepada para korban Bom Bali," katanya seperti dikutip media setempat Rabu lalu (10/10). Kritik terbuka Rudd kepada "anak buahnya" itu justru dipakai kubu pemerintah, seperti Perdana Menteri John Howard dan Menlu Alexander Downer, untuk menyerangnya. Dalam kasus Amrozi, Amnesti Internasional Australia sendiri telah mengimbau Pemerintah Indonesia untuk menghentikan rencana eksekusi Amrozi dan menggantinya dengan "hukuman seumur hidup". Bahkan organisasi ini juga mendorong publik Australia dan siapa saja yang menolak hukuman mati untuk menyurati Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu TM Hamzah Thayeb. Banyak pihak di Indonesia, seperti pegiat Hak Azasi Manusia (HAM), juga menyerukan penghapusan hukuman mati terhadap siapa pun, termasuk Amrozi, karena tidak ada bukti bahwa hukuman mati memberikan efek jera kepada orang lain untuk tidak melakukan kejahatan yang sama. Dalam kasus Amrozi, kematian justru dikhawatirkan banyak pihak sebagai harapan mereka sejak lama sehingga tidak patut diberikan kepada mereka. Insiden bom Bali 12 Oktober 2002 yang melibatkan belasan orang pelaku itu menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia. Selain Amrozi, Ali Ghufron dan Imam Samudera, mereka yang didakwa dan dituduh terlibat dalam kasus itu adalah Ali Imron, Abdul Goni, Abdul Hamid (kelompok Solo), Abdul Rauf (kelompok Serang), Achmad Roichan, Andi Hidayat (kelompok Serang) dan Andi Oktavia (kelompok Serang). Seterusnya, Arnasan alias Jimi (tewas), Bambang Setiono (kelompok Solo), Budi Wibowo (kelompok Solo), Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu tanggal 9 November 2005), Dulmatin Feri alias Isa (meninggal dunia), Herlambang (kelompok Solo), Hernianto (kelompok Solo), Idris alias Johni Hendrawan, Junaedi (kelompok Serang). Kemudian Makmuri (kelompok Solo), Mohammad Musafak (kelompok Solo) Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo), Noordin Mohammed Top, Sarjio alias Sawad, Surendro Wicaksono, Umar Kecil alias Patek, Utomo Pamungkas alias Mubarok, dan Zulkarnaen. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007