Ketika institusi formal tak memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada warga negara, seperti yang terjadi di zaman kolonial Belanda, mereka yang punya kegairahan belajar, berburu pengetahuan, tak menyerah dengan kondisi diskriminatif itu.
Otodidak, belajar mandiri dengan mengandalkan akses pengetahuan di luar institusi formal, menjadi jalan satu-satunya bagi mereka yang kegairahan belajarnya meluap-luap.
Kaum otodidak pada umumnya, di masa ketika kuantitas informasi belum sedahsyat era internet sekarang ini, punya akses informasi antara lain dari perpustakaan umum, perpustakaan keluarga, dan informasi yang dipancarkan oleh radio.
Variabel kegairahan belajar inilah yang tampaknya perlu dihidupkan saat ini di kalangan generasi muda untuk menapaki perjalanan hidup mereka.
Dengan variabel itu, di era banjir pengetahuan lewat internet saat ini, peluang untuk mencapai prestasi yang bisa dipakai sebagai bekal hidup agaknya cukup besar.
Namun, yang menjadi masalah, bahkan masalah yang serius, banjir informasi di era internet sekarang ini tidak berjalan tanpa aksesorinya yang destruktif, yakni membludaknya beragam godaan dalam bentuk permainan dan hiburan digital, yang menjadi distraksi bagi siapa pun yang mencoba untuk fokus menekuni pengetahuan yang terstruktur dan sistematis.
Keuntungan mereka yang berotodidak di masa lalu adalah minimnya gangguan yang berupa informasi yang memecah konsentrasi si pembelajar mandiri.
Tingkat atau kadar intensitas seseorang yang sedang menekuni bidang tertentu sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai. Keseriusan dan kegairahan mempelajari satu bidang berkorelasi positif terhadap pencapaian seseorang.
Itu sebabnya, membludaknya pengetahuan yang tak diimbangi dengan fokus terhadap bidang yang diminati disertai intensitas dan kegairahan mempelajarinya tak akan menghasilkan individu dengan keterpelajaran yang fenomenal.
Ezra F Fogel, guru besar emeritus di Universitas Harvard bidang ilmu sosial yang menulis Japan Number One, mengatakan bahwa kegairahan bangsa Nippon itu dalam memburu pengetahuan merupakan salah satu faktor penting yang memperkuat lahirnya industrialisasi dan kemajuan Jepang.
Kini ruang publik di dunia maya berserakan pengetahuan teoritis maupun praktis yang memanjakan siapa pun yang berminat untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian bidang apa pun yang diminatinya. Yang dibutuhkan hanya hasrat luar biasa untuk menekuninya.
Yang ironis, masih banyak, bahkan terlalu banyak, orang yang belum menyadari bahwa akses yang terbuka lebar ke informasi yang disediakan lewat internet adalah batu pijakan untuk mengembangkan karir.
Tak sedikit orang yang memilih menyekolahkan atau menguliahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan formal yang rendah kualitasnya, yang cuma menjadi lembaga pemberi ijazah.
Kultur ini tak pernah melemah atau mereda karena kuatnya pandangan umum, yang dikukuhkan oleh masifnya praksis birokrasi, bahwa ijazah, sekalipun dari institusi yang tak berkualitas, lebih berguna ketimbang pengetahuan riil yang dimiliki mereka yang berotodidak.
Namun, kecenderungan global mulai mengarah ke kondisi yang lebih sehat. Ini antara lain diperihatkan oleh perusahaan raksasa Google yang belakangan merekrut karyawannya tanpa mensyaratkan pemilikan gelar sarjana atau diploma yang setara.
Di era 70-an sebuah majalah mingguan merekrut jurnalisnya dengan mengutamakan kemampuan menulis atau berekspresinya. Lulusan Sekolah Menengah Atas yang piawai dalam menulis akan lebih berpeluang diterima ketimbang pesaingnya yang berdiploma sarjana. Namun, kini hampir semua media massa merekrut wartawannya dengan syarat punya gelar sarjana.
Sumber pengetahuan di internet yang berbahasa Indonesia saat ini sudah melimpah ruah. Namun, jika seseorang yang mempunyai minat untuk berotodidak lewat internet dimodali dengan kemampuan berbahasa asing yang memadai, akses ke pengetahuan yang lebih luas dan berkualitas akan semakin terbuka lebar.
Di era ketika sumber informasi bisa diakses secara bebas seperti sekarang ini, sebetulnya fungsi seorang guru atau instruktur di kelas sudah tak seperti dulu lagi, yakni berbagi pengetahuan pribadinya. Kini pengetahuan yang ada di internet jauh lebih komplit dan variatif dari pengetahuan yang dimiliki guru mana pun.
Oleh sebab itu, fungsi guru di kelas sudah bukan transfer ilmu pengetahuan lagi, tapi lebih ke sikap mendorong siswa agar semakin bergairah berburu pengetahuan.
Maka yang harus dieksploitasi saat terjadi pertemuan di kelas antara guru dan siswa tentunya bukan lagi aspek kognitif tapi psiko motorik siswa.
Dalam kata-kata guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada Mubyarto (mendiang), seorang guru sejatinya memainkan fungsi mendorong siswa untuk mencintai pengetahuan. Cinta ilmu, itulah yang harus dimiliki oleh setiap siswa yang ingin sukses di kemudian hari.
Jika, seseorang sudah mencintai pengetahuan, dilengkapi dengan kegairahan untuk memburunya di rimba internet, dengan konsentrasi yang tak terdistraksi oleh beragam permainan atau hiburan digital yang sangat menggoda dan menggiurkan, jalan untuk meraih sukses tentu terbuka lebar.
Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh dunia pendidikan adalah melahirkan para pendidik yang piawai dalam menggugah minat siswa untuk mencintai ilmu pengetahuan. Ini lebih bermakna ketimbang guru yang hanya memiliki akumulasi pengetahuan sebanyak berapa pun.*
Baca juga: Ekonom: teknologi digital dan internet dorong pertumbuhan UMKM
Baca juga: Mengenal Wi-Fi 6
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019