“Bahkan, menurut PricewaterhouseCoopers (PwC), di saat itu kita bisa menjadi negara nomor tujuh dengan perekonomian terkuat di dunia. Maka yang harus kita dorong adalah optimisme,” kata Airlangga di Demak, Jawa Tengah, Kamis.
Indonesia dinilai menjadi negara di tingkat Asean yang memiliki optimisme tinggi terhadap kesiapan implementasi industri 4.0.
Hal ini tercermin dari peluncuran peta jalan "Making Indonesia 4.0" pada April tahun lalu, dan penerapan digitalisasi industri oleh sejumlah perusahaan manufaktur di dalam negeri.
Menperin juga menyebutkan, berdasarkan hasil riset McKinsey, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan optimisme tertinggi dalam menerapkan industri 4.0, yakni sebesar 78 persen.
Di atas Indonesia terdapat Vietnam sebesar 79 persen, sedangkan di bawah Indonesia ditempati Thailand sekitar 72 persen, Singapura 53 persen, Filipina 52 persen dan Malaysia 38 persen.
“Survei ini dilakukan kepada supplier teknologi dan manufaktur di Asean. Dari jawaban mereka, sebanyak 93 persen mengatakan bahwa industri 4.0 adalah peluang, kemudian tingkat kesadaran untuk menerapkan sebesar 81 persen, dan pertumbuhan dalam optimisme 63 persen,” paparnya.
Riset McKinsey juga menunjukkan, industri 4.0 akan berdampak signifikan pada sektor manufaktur di Indonesia.
Misalnya, digitalisasi bakal mendorong pertambahan sebanyak 150 miliar dolar AS atas hasil ekonomi Indonesia pada tahun 2025.
Sekitar seperempat dari angka tersebut, atau senilai 38 miliar dolar AS, dihasilkan oleh sektor manufaktur.
“Industri manufaktur selama ini konsisten menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ini dilihat dari kontribusi besarnya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mencapai lebih dari 19 persen,” ungkap Airlangga.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019