Ankara (ANTARA News) - Pemerintah Turki pada Kamis (11/10) memanggil duta besarnya dari Washington, Amerika Serikat (AS), sehingga menambah dalam percekcokan diplomatik mengenai pemungutan suara di Kongres AS guna menyebut pembunuhan orang Armenia oleh kekaisaran Usmaniyah (Ottoman) di Turki sebagai tindakan pemusnahan suku bangsa. Tindakan Ankara memperlihatkan kemarahan diplomatiknya terjadi saat Gedung Putih, yang telah menentang pemungutan suara oleh Komite Urusan Luar Negeri Dewan Perwakilan Rakyat AS tersebut, berusaha menenangkan mitra Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)-nya, dan sekutu strategis utama dalam perang di Irak, serta Afghanistan. Komitmen DPR AS itu mensahkan resolusi mengenai pemusnahan suku bangsa pada Rabu, kendati ada peringatan Turki bahwa tindakan semacam itu dapat sangat merusak hubungan bilateral. "Biasa bahwa duta besar mesti dipanggil untuk berkonsultasi setelah tindakan semacam itu diambil di Kongres," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Turki, Mahmut Bilman. "Sulit untuk mengatakan kapan ia (duta besar) akan kembali ke Washington," katanya. Ankara secara tegas menolak sebutan pemusnahan suku bangsa bagi pembunuhan massal orang Armenia pada 1915-1917, dan bereaksi geram terhadap pemungutan suara di Kongres telah menyulut kekhawatiran di dalam pemerintah Presiden George W. Bush bahwa Pemerintah AS dapat kehilangan akses ke satu pangkalan militer penting di Turki. Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, Gordon Johndroe, mengatakan bahwa sangat mengharapkan "segera kembalinya" duta besar itu dan menyampaikan kembali posisi pemerintah mengenai resolusi tersebut "karena besarnya risiko yang dapat ditimbulkan terhadap keamanan nasional AS". Nancy Pelosi, Pemimpin Partai Demokrat di DPR AS, Kamis, berkeras bahwa resolusi itu akan diteruskan bagi pemungutan suara penuh di dewan. Presiden Turki, Abdullah Gul, mencela pemungutan suara di Kongres AS tersebut sebagai "tak dapat diterima baik", dan Perdana Menteri (PM) Turki, Recep Tayyip Erdogan, memperingatkan tindakan lebih lanjut dapat dilakukan jika resolusi itu disahkan oleh Kongres penuh. "Kami melanjutkan tindakan kami sebelum (teks) itu dibahas dalam sidang penuh. Setelah itu, ada tindakan yang dapat kami lakukan tapi sekarang bukan waktunya untuk membicarakannya. Kami sedang menilai semua tindakan ini," kata Erdogan. Seorang anggota senior parlemen dari partai yang berkuasa, pimpinan Erdogan, telah menyatakan bahwa Turki dapat mempertimbangkan untuk melarang AS menggunakan pangkalan militer Incirlik, pos penting bagi operasi di Irak dan Afghanistan. Sedikit-dikitnya 1,5 juta orang Armenia tewas dari 1915 hingga 1917 di bawah aksi deportasi dan pembunuhan oleh Kekaisaran Bani Usman (Usmaniyah), demikian menurut Armenia. Turki mengakui bahwa 250.000 hingga 500.000 orang Armenia dan orang Turki dalam jumlah yang kurang-lebih sama tewas dalam suatu konflik setelah orang Armenia mengangkat senjata bagi kemerdekaan. Pemerintah Bush menyatakan, akan melobi Kongres, yang dikuasai kubu Demokrat, agar tak melakukan tindakan lebih lanjut. Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, selama suatu kunjungan ke London, menyoroti ancaman yang mungkin muncul terhadap jalur pasokan AS ke wilayah Irak, karena 70 persen barang udara AS, 30 persen pasokan bahan bakar bagi pasukan AS dan 95 persen armada baru Kendaraan Lapis Baja yang Terlindung dari Ranjau (MRAPS) disalurkan melalui Turki. Prancis, Kanada dan parlemen Eropa termasuk di antara mereka yang telah mencap pembunuhan orang Armenia sebagai pemusnahan suku bangsa. Pesawat militer Prancis tak lagi diizinkan terbang di atas wilayah udara Turki. Armenis sangat menyambut baik pemungutan suara di Kongres AS, sementara Turki memperingatkan bahwa hubungan sudah tegang dapat mengalami pukulan lebih jauh. "Armenia akan sepenuhnya kehilangan (prospek) keterbukaan positif pada masa depan," kata Erdogan. Turki menolak untuk membina hubungan diplomatik dengan tetangganya di sebelah timurnya akibat aksinya bagi pengakuan internasional atas pembunuhan tersebut sebagai pemusnahan suku bangsa. Turki mengalami pukulan ekonomi keras terhadap bekas negara Komunis miskin itu pada 1993, ketika negeri tersebut menutup perbatasan bersama mereka untuk memperlihatkan solidaritas kepada Azerbaijan, yang sedang berperang melawan Armenia mengenai masalah Nagorno-Karabakh. Turki dan Azerbaijan adalah sekutu erat. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007