Palembang (ANTARA) - Belum lama ini, seorang oknum kepala desa di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, ditetapkan polisi menjadi tersangka karena diduga menggunakan dana desa untuk keperluan pribadi.
Kepala desa di Desa Ulak Lebar, ZU (41) ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi pada Selasa (27/2) karena diduga menggunakan dana desa sebanyak Rp359 juta untuk membeli mobil pribadi dan keperluan berobat istrinya.
Bahkan dari pencairan dana desa tahap pertama tahun 2017 itu, ZU diketahui hanya menggunakan sekitar Rp20 juta untuk pembangunan jembatan. Mirisnya, proyek jembatan ini dikerjakan agar kendaraan roda empat yang dibelinya itu dapat masuk hingga ke pekarangan rumah sendiri.
Bukan hanya ZU, Sumatera Selatan juga dikejutkan dengan perbuatan Kepala Desa Kotaraya Darat, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, berinisial AJ yang menggunakan dana desa untuk berjalan-jalan ke luar kota hingga biaya pesta pernikahan keponakannya di desa.
Tak tanggung-tanggung, tersangka AJ yang ditangkap polisi pada 24 Januari 2019 telah merugikan negara sebesar Rp473.004.697 dari total anggaran sebesar Rp586.978.000.
Adanya penyelewengan dana desa ini merupakan fakta yang terjadi di lini lapangan.
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Anwar Sanusi di Palembang, Senin (4/2), mengatakan institusinya menyadari bahwa aspek pengawasan dana desa ini harus terus disempurnakan untuk menekan penyelewengan dana.
Pemerintah sebenarnya sudah membuat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan melibatkan inspektorat kabupaten untuk mengawasi dana desa tersebut.
Tak hanya dua pihak ini, terdapat elemen lain yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kejaksaan, Polri, Satgas Dana Desa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan LSM untuk ikut mengawasi realisasi dana desa.
Untuk itu, Kemendes PDTT telah meminta Komisi Pemberatasan Korupsi untuk menemukan formula efektif untuk pengawasan dana desa agar penyerapannya lebih optimal dan tepat sasaran.
Mengapa formula efektif, karena pemerintah juga tidak ingin adanya kriminalisasi terhadap kepala desa atas kesalahan administrasi semata, kata dia.
"Jangan pula pengawasannya terlalu berlebihan sehingga kepala desa menjadi takut," kata Anwar dalam diskusi panel "Pengentasan Kemiskinan Berbasis Pembangunan Desa di Sumsel" yang turut dihadiri Wagub Sumsel Mawardi Yahya dan Rektor Unsri Anis Saggaf.
Sejauh ini pemerintah tidak menutup-nutupi kasus terkait penyelewengan dana desa yang terjadi.
Namun, menurutnya, kejadian ini patut dilihat secara objektif karena dari 2.853 desa di Sumsel yang menerima dana desa, hanya beberapa desa yang terjadi penyelewengan.
Dana desa di Provinsi Sumatera Selatan tahun 2019 dialokasikan sebesar Rp2,6 triliun atau naik Rp300 miliar dari tahun 2018. Pada tahun 2015, dana desa Sumsel sebesar Rp775 miliar, tahun 2016 sebesar Rp1,7 triliun, tahun 2017 sebesar Rp2,2 triliun, tahun 2018 sebesar 2018 Rp2,3 triliun.
Sementara itu, Menteri Desa dan PDT Eko Putro Sandjojo dalam kesempatan yang berbeda di Palembang, Rabu (27/2), mengklaim tata kelola penggunaan dana desa jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Kasus-kasus itu penyelewengan dana desa terjadi karena kesalahan administratif saja, makanya kami adakan pendampingan. Kalau kita lihat tata kelolanya sudah jauh lebih baik dan banyak diakui lembaga dunia," katanya di sela acara lokakarya dan seminar tata kelola pemerintahan desa.
Eko memaparkan membaiknya tata kelola tersebut tercermin dari angka penyerapan dana desa yang meningkat setiap tahun yakni dari 82 persen pada tahun 2015 menjadi 99 persen pada 2018.
Modus
Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara menyebut terdapat delapan modus penyelewenangan dana desa berdasarkan hasil penelusuran polisi terhadap kasus-kasus hukum yang menjerat kepala desa.
Zulkarnain dalam seminar nasional "Tata Kelola Pemerintah Desa, Membangun Kemandirian Desa melalui Bumdesa" di Palembang, Rabu (27/2), mengatakan, pertama yakni membuat rancangan anggaran di atas harga pasar, kedua mengklaim pembangunan fisik yang dibangun dengan dana proyek lain sebagai proyek dana desa.
Ketiga, meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan. Kempat, pemungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan/kabupaten, kelima yakni penggelembungan honor perangkat desa dan alat tulis kantor.
Keenam, memungut pajak atau restribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak. Ketujuh, permainan kongkalikong dalam proyek yang didanai dana desa, dan kedelapan yakni membuat proyek fiktif yang dananya dibebankan ke dana desa.
Atas tindakan penyelewengan dana desa ini, ia mengatakan Polda Sumsel telah menyidik tujuh kasus pada tahun 2018.
Untuk itu, pada 2019, Polda Sumsel sedapat mungkin menekan angka penyelewengan ini dengan pengawasan untuk pencegahan dan penindakan untuk memberikan efek jera.
"Peran Polri di sini sangat jelas, yakni membuat jangan sampai ada penyelewengan. Kami libatkan para Bhabinkamtibmas yang bekerja sama dengan Babinsa," kata dia.
Berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya bisa diantisipasi jika warga desa dan berbagai perangkat yang memiliki wewenang melakukan pengawasan aktif memonitor setiap langkah yang dilakukan dengan pembelanjaan dana desa.
Karena sebuah penyalahgunaan wewenang biasanya terjadi karena adanya kesempatan.*
Baca juga: Kapolda Sumsel sebutkan delapan modus penyelewengan dana desa
Baca juga: Wagub Sumsel minta pengawasan dana desa diperketat
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019