Oleh Masduki Attamami Yogyakarta (ANTARA News) - Perbedaan tidak harus dipertentangkan, termasuk dalam menentukan 1 Syawal 1428 Hijriyah. Umat Islam yang merayakan Idul Fitri pada 12 Oktober tetap menghormati umat Islam lainnya yang meyakini 1 Syawal 1428 H bertepatan dengan 13 Oktober 2007. Gema takbir (mengagungkan nama Allah SWT) menyambut Idul Fitri, Kamis malam, di Yogyakarta justru mengawal perbedaan itu, sehingga tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Kerukunan dan persatuan tetap terjaga, meski berbeda dalam menentukan hari lebaran. Di Yogyakarta suasana takbiran menyambut 1 Syawal 1428 H, Kamis malam berlangsung semarak, lancar dan aman, termasuk takbir keliling yang dilombakan. Kegiatan yang menggabungkan seni dan religi itu tampak mencolok di sejumlah ruas jalan di kota ini. Takbir keliling yang dilakukan sejumlah kelompok umat Islam yang mengatasnamakan jemaah masjid tersebut, diiringi bunyi-bunyian, di antaranya bedug dan kentongan yang dipukul, dan bahkan ada yang menyertakan satu regu drumband. Peserta takbir keliling dari yang usia anak-anak hingga orang dewasa itu, umumnya berbusana muslim, tetapi ada juga yang berseragam, dan bahkan busananya warna-warni terutama kalangan anak-anak. Mereka dengan berjalan kaki sambil bertakbir (mengagungkan nama Allah SWT) ada yang mengusung berbagai replika (tiruan) seperti masjid, ka`bah, kapal layar, dan bahkan ada pula replika binatang onta serta gajah. Beragam lampion warna-warni pun mereka bawa. Sejumlah petugas dari Polri berjaga-jaga di beberapa simpang-empat maupun simpang-tiga jalan raya di kota Yogyakarta, sekaligus mengatur arus lalulintas kendaraan agar tidak terjadi kemacetan saat iring-iringan takbir keliling lewat. Sementara itu, kegiatan di masjid maupun mushola selain jemaahnya bertakbir, juga dilakukan pembagian zakat fitrah bagi warga masyarakat yang berhak menerimanya. Hujan yang cukup deras selama seperempat jam di wilayah Kotagede, Kota Yogyakarta sempat menyebabkan peserta takbir keliling berlarian untuk berteduh.Pelaksanaan takbiran di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis malam berlangsung aman, dan tidak terjadi gangguan apa pun. Semuanya aman. "Sampai pukul 22.20 WIB belum ada laporan kejadian gangguan kamtibmas, baik tindak kriminalitas maupun kecelakaan lalu lintas," kata Kapoltabes Yogyakarta, Kombes Pol Drs Agung Budi Maryoto. Menurut dia, kegiatan takbir keliling yang diselenggarakan sejumlah remaja dan pemuda masjid tersebut mendapat pengamanan dari kepolisian wilayah khususnya untuk kelancaran arus lalu lintas. "Takbir keliling yang menggunakan kendaraan bermotor juga berlangsung aman dan lancar dengan pengamanan dari personil kami di lapangan," katanya. Ia mengatakan, hingga malam ini pusat-pusat keramaian di kota Yogyakarta masih dipadati pengunjung seperti kawasan Malioboro dan Jalan Urip Sumoharjo hingga arus lalu lintas sangat padat. Meski demikian, keamanan tetap kondusif. "Sejumlah ruas jalan juga padat kendaraan seperti Jalan kolonel Sugiyono, Jalan KH Ahmad Dahlan, Jalan Sultan Agung, Jalan Kusumanegara dan sejumlah jalan-jalan protokol lainnya," katanya. Hal yang sama juga disampaikan Kapolres Gunungkidul AKBP Suswanto Joko Lelono, bahwa pelaksanaan malam takbiran di wilayah ini berlangsung aman dan lancar. "Memang saat ini masih ada beberapa masyarakat yang masih melakukan takbir keliling dengan kendaraan bermotor, namun secara umum tidak ada gangguan kamtibmas yang berarti, termasuk tidak terjadi kecelakaan lalu lintas," katanya. Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pun berharap, jika terjadi perbedaan dalam menentukan 1 Syawal 1428 H, tidak perlu dipermasalahkan. "Perbedaan tersebut tidak perlu dibesar-besarkan, karena semua itu menyangkut keyakinan masing-masing," katanya. Saat ditanya pers mengenai akan ikut melaksanakan salat Idul Fitri pada 12 atau 13 Oktober, Sultan HB X mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shalat Idul Fitri sesuai dengan keputusan pemerintah. "Jika keputusan pemerintah bahwa 1 Syawal 1428 H jatuh pada 13 Oktober, saya akan shalat Idul Fitri pada tanggal itu," katanya. Sementara itu, Sultan HB X selaku Raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menetapkan 1 Syawal 1428 H bertepatan dengan 13 Oktober 2007. "Keraton Yogyakarta menetapkan 1 Syawal pada tanggal 13 Oktober 2007. Namun, bila ada perbedaan dalam menentukan 1 Syawal, tidak perlu dipermalahkan," katanya. Sementara itu, budayawan dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Dr Suminto A Sayuti mengatakan, perbedaan persepsi yang terjadi pada beberapa kalangan mengenai waktu jatuhnya tanggal 1 Syawal 1428 H tidak perlu disikapi dengan fatwa politik untuk menyamakannya. "Perbedaan persepsi tidak perlu dipertentangkan, karena perbedaan pemikiran justru mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi kita," katanya. Menurut dia, perbedaan persepsi yang terjadi pada beberapa kalangan mengenai waktu jatuhnya tanggal 1 Syawal 1428 H merupakan bagian dari budaya dan tradisi yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai latar belakang dengan kepercayaan masing-masing. Kondisi semacam itu tidak seharusnya menjadi alasan sebuah pertikaian. Beragam tradisi yang hidup di Indonesia merupakan sumber kekayaan budaya, yang tidak ditemukan di negara lain. Perbedaan pandangan tentang jatuhnya tanggal 1 Syawal sebagai hari besar umat Islam hampir setiap tahun terjadi, dan pengalaman menunjukkan bahwa perbedaan tersebut bukanlah suatu masalah. "Ada yang berkeyakinan bahwa satu bulan harus 30 hari, namun ada pula yang berpendapat bahwa perhitungan lama satu bulan harus ditentukan dengan melihat bentuk bulan," katanya. Menurut Guru Besar Fakultas Seni dan Budaya UNY ini, perbedaan pendapat yang dilatarbelakangi kepercayaan semacam itu tidak perlu disamakan, apalagi menggunakan rekayasa politik. "Kalaupun ada beberapa kalangan yang berbeda pandangan, biar saja mereka menjalankan apa yang mereka yakini dengan damai, tak perlu disama-samakan, karena esensi dari bulan Ramadan adalah menjalankan puasa wajib," katanya.Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) DIY, KH Thoha Abdurrahman, mengatakan, pemerintah semestinya bersikap tegas. Artinya, harus mengakomodasi semua aspirasi umat Islam. "Mungkin perlu dipikirkan penentuan 1 Syawal dilaksanakan secara bergantian. Kalau selama ini perbedaan mencolok itu antara NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah, tidak ada salahnya pemerintah menetapkannya secara bergiliran," katanya. Kata dia, kalau tahun ini pemerintah menetapkan 1 Syawal sama dengan NU, maka bisa saja untuk 1 Syawal tahun depan sama dengan yang ditetapkan Muhammadiyah. "Sikap pemerintah seperti itu penting, agar tidak terkesan pemerintah memihak kepada salah satu organisasi Islam terbesar di tanah air ini," katanya. Ia menyatakan, dirinya bisa memahami dan menghargai upaya yang dilakukan Wakil Presiden, M. Jusuf Kalla, yang mengajak dialog NU dan Muhammadiyah untuk menentukan 1 Syawal. "Tindak lanjut dari pertemuan dan dialog tersebut mungkin bisa dipakai pemerintah untuk menentukan 1 Syawal pada tahun-tahun mendatang secara bergantian antara versi NU dan Muhammadiyah," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007