Masalah sosial budaya atau yang sering disebut humaniora selama ini belum dikupas dalam perdebatan antarcapres-cawapres yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam bingkai Pemilihan Presiden 2019.

Menurut rencana, tema sosial budaya, yang mencakup antara lain isu pendidikan, kesehatan akan diperdebatkan pada 17 Maret, yang menghadirkan cawapres nomor urut 01 Ma`ruf Amin dan cawapres nomor urut 02 Sandiaga Salahudin Uno.

Banyak isu yang bisa diperdebatkan dalam bidang humaniora, yang perlu disampaikan oleh kontestan. Publik, terutama kalangan budayawan, akan menilai sejauh mana kedalaman visi masing-masing kandidat dalam menangani persoalan sosial budaya.

Dalam berbagai kesempatan, para capres pun selama ini kurang menyentuh atau memperbincangkan isu sosial budaya ketika bertatap muka dengan rakyat. Isu yang paling sering dibahas adalah persoalan ekonomi dan politik atau perbauran keduanya yang sering disebut ekonomi politik.

Tampaknya para capres atau cawapres perlu menyikapi beberapa persoalan sosial budaya yang disampaikan oleh para pemangku kepentingan di bidang itu.

Salah satunya adalah persoalan yang dikemukakan oleh kalangan penulis dan pengarang buku yang mengeluhkan rendahnya apresiasi negara dengan pengenaan pajak yang cukup tinggi bagi produk-produk kreatif seperti buku fiksi maupun nonfiksi.

Novelis pop Tere Liye beberapa kali lewat akun media sosialnya mengungkapkan keprihatinannya atas tingginya pajak yang dikenakan pada karya-karyanya sehingga memotong hasil royaltinya secara signifikan.

Akan menarik jika dalam debat antara Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno juga memperbincangkan isu yang dikeluhkan oleh novelis itu pada 17 Maret mendatang.

Para cawapres perlu menawarkan solusi dalam hal peringanan pajak bagi karya-karya kreatif yang sangat bermanfaat bagi pencerahan publik itu.

Dalam beberapa tahun belakangan ini, pemerintah telah memberikan apresiasi yang cukup berarti kepada para atlet yang berprestasi dengan memberikan bonus uang tunai yang jumlahnya cukup fenomenal. Bagaimana bentuk apresiasi yang perlu diberikan kepada kalangan seniman?

Bila para cawapres itu berani memberikan janji kepada penulis bahwa kalau dalam kontes pilpres itu sang cawapres menang, dia akan membebaskan pajak penghasilan yang diterima para penulis. Janji demikian tentu akan memikat kaum seniman bidang olah kata itu.

Yang ditunggu-tunggu tentu bukan janji pepesan kosong yang tak terealisasi, tapi sebuah komitmen yang peluangnya untuk diterapkan cukup besar.

Andaikan komitmen pembebasan pajak penghasilan para penulis itu tak bisa diberikan, masing-masing kontestan bisa menawarkan solusi lain. Misalnya, memberikan komitmen bahwa pemerintah akan memborong karya-karya mereka setelah lembaga independen memberikan anugerah kepada karya mereka yang monumental.

Jika para atlet yang memperlihatkan pencapaian istimewa diberi bonus dan kesempatan menjadi aparat sipil negara, perlukah hal serupa diberikan kepada para pekerja seni kreatif, yang di dalamnya termasuk kalangan penulis fiksi dan nonfiksi?

Mungkin yang paling tepat adalah memberikan kesempatan menjadi dosen di universitas negeri bagi penulis-penulis yang memperlihatkan prestasi istimewa. Beberapa waktu lalu Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengeluarkan peraturan yang memungkinkan para kreator, seniman bisa menjadi pengampu di lembaga pendidikan berdasarkan keahlian dan pencapaian istimewa mereka.

Jika apa yang dikemukakan Menristek Dikti itu dikombinasikan dengan apresiasi yang perlu diberikan kepada penulis kreatif, kalangan pekerja seni, termasuk seniman literer, akan menyambut gembira tentunya.

Visi kandidat dalam Pilpres 2019 mengenai persoalan kebebasan ekspresi dalam kesenian agaknya perlu ditegaskan untuk memberikan jaminan bahwa para seniman di semua cabang seni akan dilindungi dari pemberangusan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok radikal.

Visi tentang kemerdekaan ekspresi dari calon pemimpin bangsa sangat penting dalam menyuburkan penciptaaan karya. Ketika para kreator merasa tak mendapat perlindungan dari negara atas karya-karya kreatif mereka dari serangan kaum radikal intoleran, gairah berkreasi pun akan menurun.

Kalangan sineas, yang berkarya dengan mempertaruhkan dana besar dari kalangan investor, juga memerlukan jaminan perlindungan dari negara atas karya-karya kreatif mereka sehingga tidak ada segmen masyarakat yang menuntut penghentian pemutaran karya sinematografis itu dengan alasan yang primordial sektarian.

Sejak reformasi 1998, tantangan kemerdekaan ekspresi, termasuk di jagat kesenian di Tanah Air, datangnya bukan dari penguasa tapi dari segmen masyarkat militan, yang berbicara atas nama agama.

Karya-karya seni yang dicap sebagai karya yang menista agama akan dicegah secara kekerasan untuk ditampilkan di depan publik. Bila karya itu menelan dana besar dalam penciptaannya, tentu dampaknya akan dirasakan oleh sang kreator dan penyandang dananya.

Setiap seniman punya visi estetika masing-masing yang unik. Penikmat seni hanya dipersilakan untuk mengapresiasi atau mengabaikan/ menganggapnya sepi namun tak bisa melarang karya itu ditampilkan di ruang publik.

Dulu, sebelum reformasi, tepatnya di era Orde Baru, aparat negara sering melakukan pelarangan pertunjukan karya seni dengan alasan dapat menimbulkan huru-hara atau keresahan masyarakat.

Kini, intimidasi terhadap kemerdekaan berekspresi secara estetik oleh kalangan pekerja seni justru datang dari kalangan masyarakat, dengan argumen bahwa karya itu menista agama.

Bagi pekerja seni, dari mana pun pembatasan itu muncul, dampaknya sama saja. Implikasi negatifnya adalah meredupnya keberanian pekerja seni untuk berekspresi semerdeka-merdekanya.

Semoga Ma?ruf Amin dan Sandiaga Uno sempat membahas perkara kemerdekaan berekspresi dalam jagat kesenian ini dalam debat cawapres 17 Maret mendatang.

Baca juga: Menghalau perundungan dari ekses debat capres
Baca juga: Sopan santun dalam Debat Capres

 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019