Mataram (ANTARA) - Jemari tangan kanan perempuan berkulit sawo mateng itu nampak lemah menggerakkan butir-butir tasbih. Dengan suara yang nyaris tak terdengar ia berzikir menyebut asma Allah disertai doa agar penyakitnya bisa sembuh.

Nuraini (40), perempuan yang tinggal di Lingkungan Babakan Desa, Kelurahan Babakan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat itu nampak begitu sabar menghadapi penyakit yang dideritanya, sejak dua tahun terakhir.

Sejak dua bulan usia kehamilan anak keduanya ia menderita benjolan sebesar telur ayam di bekas luka yang menutupi separuh pipi kanannya. Mata sebelah kanan juga sudah tidak nampak karena tertutup penyakit tergolong langka itu.

Bahu sebelah kanan juga ada bekas luka dan belum sembuh total. Begitu juga punggung sebelah kanan tampak bekas jahitan sepanjang jengkal tangan orang dewasa. Luka memerah juga terdapat di bagian paha kanan karena kulitnya sudah tidak ada.

Luka di beberapa bagian tubuh Nuraini disebabkan operasi pengangkatan benjolan yang tumbuh di pipi bagian kanan. Tindakan medis tersebut dilakukan di Rumah Sakit Sanglah Denpasar, pada 2017 silam.

Isteri dari Syahrin itu divonis menderita penyakit tumor maksila oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram berdasarkan hasil pemeriksaan medis.

Menurut para pakar tumor adalah jaringan baru (neoplasma) yang timbul dalam tubuh akibat pengaruh berbagai faktor penyebab dan menyebabkan jaringan setempat pada tingkat gen dan adanya kehilangan kendali normal atas pertumbuhannya.

Tumor maksila adalah suatu pertumbuhan jaringan baru yang terjadi di sinus maksilaris cenderung menginvasi jaringan sekitarnya dan bermetastase ke tempat-tempat jauh.

Daging di bagian bahu kanan diambil untuk menggantikan daging pipi yang sudah diambil karena terkena tumor ganas. Sedangkan daging punggung sebelah kanan diambil untuk menambal daging bahu. Tim medis juga mengambil beberapa centimeter kulit paha kanan untuk melapisi daging pipi kanan.

Kendati penyakit yang dideritanya sangat berat dan membutuhkan biaya pengobatan besar serta biaya hidupnya pas-pasan, namun perempuan kelahiran tahun 1979 itu nampak nampak kuat dan sabar menghadapi cobaan itu.

Ibu dari dua anak itu masih bisa diajak berkomunikasi kendati suara agak susah keluar dari mulutnya yang tampak bengkok dan tidak simetris itu.

"Waalaikumsalam. Silakan duduk pak," kata Nur Aini ketika menjawab salam dari seorang wartawan ANTARA Biro NTB yang berkunjung sekaligus menyerahkan bantuan dari donatur beberapa waktu lalu.

Penyakit yang diderita Nuraini mulai terasa pada 2016 atau ketika usia kandungan anak keduanya berusia satu bulan. Benjolan di pipi awalnya sebesar biji kacang hijau. Namun seiring bertambahnya usia kandungan ukuran benjolan juga kian membesar.

Sebagai suami, Syahrin mengaku sempat syok mendengar penjelasan dokter tentang penyakit yang diderita isterinya, karena setiap kali memeriksakan benjolan di pipi isterinya ke puskesmas, petugas medis hanya mengatakan bahwa benjolan tersebut bawaan bayi dalam kandungan.

Nuraini yang dalam kondisi mengidap tumor akhirnya menjalani proses persalinan di RSUP NTB pada 17 Maret 2016. Kondisi fisik yang lemah dan berat badan yang terus merosot menyebabkan dokter mengambil langkah operasi sesar demi menyelamatkan nyawa sang bayi dan ibunya.

Operasi sesar pun berhasil. Bayi lahir dengan selamat. Namun, benjolan di pipi Nuraini tiba-tiba masuk ke dalam rongga mulut sehingga menyebabkan gigi rahang kanan terlepas semua.

Setelah melahirkan bayinya, perempuan yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga itu tidak bisa makan secara normal. Bahkan bernapas pun kesulitan.

Pihak rumah sakit kemudian memasang alat pernapasan berupa selang yang dimasukkan melalui lubang yang dibuat di tengah leher. Kemudian untuk memasukkan nutrisi makanan juga menggunakan selang yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui lubang yang dibuat di perut. Kondisi tersebut berlangsung selama empat bulan setelah melahirkan.

Syahrin kemudian mengkonsultasikan penyakit isterinya ke pihak RSUP NTB dan meminta hasil pemeriksaan. Namun, karena tidak sabar menunggu lama, akhirnya ia membawa isterinya ke RSUD Kota Mataram.

Di rumah sakit tersebut, pria yang sehari-hari berjualan mainan anak-anak itu mengetahui tentang tumor maksila yang bersarang di tubuh isterinya. Pihak rumah sakit kemudian memberikan surat rujukan agar dibawa ke Rumah Sakit Sanglah Denpasar untuk dioperasi pengangkatan tumor.

Pria yang sehari-hari dipanggil Ayin itu kemudian berangkat membawa isterinya ke Bali menggunakan kapal laut pada Mei 2017. Bekal yang dibawa hanya pakaian seadanya.

Ada juga uang dari hasil penjualan sepeda motor senilai Rp8 juta. Sebagian uang itu sudah diberikan kepada saudaranya untuk biaya mengasuh kedua anaknya selama berada di Denpasar.

Tiba di Denpasar, Syahrin bertemu dengan salah seorang warga Lombok di Rumah Sakit Sanglah, yang juga sedang berobat. Kenalannya itu kemudian mengantarkan ke Rumah Singgah Denpasar sebagai tempat tinggal sementara sambil menunggu jadwal operasi. Semua biaya makan dan minum gratis, termasuk menginap.

Jadwal operasi ternyata tidak pasti. Syahrin dan isterinya harus menunggu berbulan-bulan lamanya. Uang semakin menipis. Bahkan, ia harus rela meninggalkan isterinya untuk balik ke Lombok karena ayahnya meninggal dunia.

Ketika akan kembali ke Denpasar, Syahrin menerima sumbangan berupa uang tunai yang berasal dari warga di daerah tempat tinggalnya. Uang tersebut dikumpulkan oleh keluarganya dengan cara berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya.

"Sebenarnya saya malu. Tapi apa daya. Harta yang bisa dijual sudah tidak ada. Motor satu-satunya yang dijadikan alat untuk jualan sudah lebih dulu terjual sebelum kami berangkat ke Denpasar," tutur pria kelahiran 1978 itu menceritakan kejadian dua tahun silam.

Setelah menunggu enam bulan di rumah singgah, akhirnya Nuraini menjalani berbagai tindakan medis, mulai dari operasi pengangkatan tumor, hingga tindakan lanjutan berupa radioterapi dan kemoterapi selesai. Total lama tinggal di Rumah Singgah Denpasar lebih dari delapan bulan dan balik ke Lombok pada Maret 2018.

Namun, setelah kembali ke rumah, penyakit Nuraini justru semakin memburuk. Benjolan kembali tumbuh membesar di bagian pipi hingga menutupi mata kanan. Badannya juga semakin kurus karena kekurangan gizi.

"Beginilah keadaan saya. Mohon doanya semoga Allah SWT memberikan kesembuhan," tutur Nuraini sambil terus berzikir dan menggerakkan tasbih di genggamannya.

Terus Berikhtiar

Meskipun kondisi isterinya semakin memburuk, Syahrin tetap tabah dan sabar mengurus ibu dari dua anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tua.

Anak pertama bernama Ahmad Hawwaji berusia 11 tahun, dan anak kedua bernama Sakila Atmarini berusia 3 tahun. Saat ini, keduanya lebih banyak diasuh oleh isteri dari kakak Syahrin (ipar).

"Kalau bicara kangen sama anak, ibu mana yang tidak ingin memeluk anaknya. Apalagi usianya masih kecil. Tapi mau bilang apa, kondisinya seperti yang dilihat saat ini," ucap Syahrin, dengan nada sedih.

Pria religius itu mengurus isterinya setiap saat. Mulai dari memandikan di kamar mandi hingga membuatkan makanan yang bisa masuk tanpa harus lama dikunyah.

Meskipun mudah ditelan, jenis makanan yang diberikan tetap memiliki kandungan gizi yang bagus, seperti wortel, kentang, dan buah-buahan yang terlebih dahulu dihaluskan (diblender) sehingga menjadi makanan cair.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Syahrin harus banting tulang berjualan mainan anak-anak keliling sekolah dasar dan taman kanak-kanak di Kota Mataram. Sepeda motor yang dipakai milik orang yang bersedia meminjamkan.

Meskipun sudah setengah hari berjualan, uang yang diperoleh tidak lah banyak. Paling besar hanya Rp50 ribu per hari, belum dipotong modal dan ongkos bahan bakar. Faktor banyaknya pedagang sejenis menjadi penyebab utama.

Beruntung masih ada kartu Program Keluarga Harapan (PKH). Bantuan uang dari Kementerian Sosial setiap tahun itu bisa meringankan beban hidup yang harus dijalani Syahrin.

Laki-laki yang setiap hari mengajar anak-anak mengaji di rumahnya itu tidak mau meminta-minta seperti pengemis. Namun, ada saja sumbangan dari warga yang masih peduli akan kondisi keluarganya.

Ia juga tetap berupaya keras mencari penghasilan untuk membeli obat herbal yang harganya ratusan ribu demi meringankan rasa sakit yang diderita sang isteri.

"Saya tetap sayang sama isteri saya. Apa pun keadaannya. Susah senang kami hadapi bersama karena itu ikrar saat kami menikah," tutur Syahrin yang mengaku terus berikhtiar dan berdoa semoga ada keajaiban yang diberikan oleh Allah SWT.

Beban hidup yang berat dan menghadapi kondisi kesehatan istrinya yang memprihatinkan, Syahrin nampak tegar dan terus berupaya seraya bersoa agar istrinya cepat sembuh.

Syahrin mengakui beban terasa semakin berat, karena ia harus menggung biaya pengobatan istrinya yang tidak sedikit, belum untuk hidup sehari dan biaya pendidikan anaknya.

Karena itu ia mengharapkan uluran tangan pemerintah maupun para dermawan untuk memberikan sedikit bantuan untuk meringan beban hidupnya.*


Baca juga: Waspadai Endometriosis Pada Perempuan

Baca juga: Pentingnya deteksi dini tumor dan kanker payudara

Pewarta: Awaludin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019