Fikih Kebahagiaan itu tengah didorong menjadi arus utama seiring kecenderungan khalayak mengesampingkan faktor kebahagiaan dan lebih cenderung mengutamakan Indeks Pembangunan Manusia/ Human Development Index (HDI) dalam pendekatan pembangunan masyara

Banjar (ANTARA News) - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) menggulirkan soal Fikih Kebahagiaan seiring penyelenggaraan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) di Kota Banjar, Jawa Barat.

"Fikih kebahagiaan ini masih tahap awal sekali. Arahnya didorong menjadi percakapan nasional. Orang akan sadar betapa pentingnya kebahagiaan yang perlu kita capai," kata cendekiawan Nahdlatul Ulama, Ulil Abshar Abdalla, saat ditemui di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Banjar, Rabu.

Mantan Ketua Lakpesdam NU itu mengatakan sedang mendorong agar Fikih Kebahagiaan itu menjadi arus utama seiring kecenderungan khalayak mengesampingkan faktor kebahagiaan dan lebih cenderung mengutamakan Indeks Pembangunan Manusia/ Human Development Index (HDI) dalam pendekatan pembangunan masyarakat.

Salah satu dampak penggunaan HDI itu, kata dia, dalam beberapa aspek pembangunan kerap mengesampingkan persamaan hak bagi kaum minoritas. Jika kaum minoritas ikut dalam arus utama tentu akan memicu kebahagiaan lebih luas.

"Perlu diperluas agar pembangunan bisa menyentuh hal mendasar. Karena manusia itu tidak hanya butuh pemdidikan tapi juga bahagia," kata dia.

Fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.

Dia mengatakan pendekatan kebahagiaan lewat fikih merupakan cara yang baik untuk mengarusutamakan pentingnya kebahagiaan, terutama melalui organisasi Nahdlatul Ulama.

"Di tingkat nasional diberi kerangka tradisional NU yaitu fikih. Ini salah satu gagasan tentang apa itu kebahagiaan dari sudut pandag agama. Di sini dibahas tentang aspek inklusivitas," kata dia.

Menurut dia, hadirnya Fikih Kebahahagiaan bisa mendorong agar pemerintah dalam merumuskan setiap kebijakan harus melibatkan semua unsur tanpa mengabaikan unsur lain sehingga tidak ada diskriminasi.

"Karena kebahagiaan itu timbul jika ada pengakuan kepada kelompok manapun meski itu berbeda. Kalau sebuah kelompok dalam negara tidak diperlakukan inklusif, tidak dilibatkan, tidak diakui hak-haknya, tidak bahagia. Orang bahagia jika dalam masyarakat mendapatkan pengakuan sosial, juga pengakuan politik. Kalau tidak diberi ruang dalam kehidupan sosial tentu menimbulkan ketidakbahagiaan mereka," katanya.

Dia mengatakan pembangunan yang eksklusif dan tidak untuk semua elemen masyarakat dapat menghancurkan rumah sosial budaya suatu kalangan. Mereka dapat menjadi "gelandangan" tanpa rumah budaya dan sosial.

"Itu bahaya banget, fundamentalisme yang kita lihat sekarang, radikalisme agama, antara lain karena orang kehilangan rumah sosial. Artinya Fikih Kebahagiaan perlu diterapkan dalam kebijakan-kebijakan," kata dia.

Fikih Kebahagiaan, kata dia, juga berlaku pada pihak nonpemerintah. Kalangan kiai, pendeta, ronaniawan, lembaga pendidikan dengan segala instrumennya juga perlu ikut membentuk masyarakat yang memiliki sikap hidup positif.

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019