Perlu saya tekankan, modal yang ditanam ke e-commerce dan startup ini sangat beda sekali dengan deposito di perbankan yang istilahnya bisa kapan saja ditarik. Investor di e-commerce dan startup itu sadar, sekali masuk tidak mudah keluar
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menilai kekhawatiran investasi modal asing yang diberikan kepada perusahaan perdagangan elektronik (e-commerce) dan rintisan (startup), termasuk yang telah bergelar "unicorn", akan mudah kembali keluar, tidak perlu terjadi.
"Perlu saya tekankan, modal yang ditanam ke e-commerce dan startup ini sangat beda sekali dengan deposito di perbankan yang istilahnya bisa kapan saja ditarik. Investor di e-commerce dan startup itu sadar, sekali masuk tidak mudah keluar," ujar Lembong saat menjadi pembicara dalam Forum Merdeka Barat (FMB) di Jakarta, Selasa.
Lembong menuturkan, hanya ada tiga cara agar modal e-commerce berubah yakni dengan melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO), jual ke investor lain, atau nilainya diminimalkan.
"Jadi investor yang masuk ke startup dan e-commerce sudah sadar sekali masuk harus "commit" total dan potensi keuntungannya mencukupi. Keuntungan yang dikejar cukup besar sehingga mereka siap menghadapi risiko tersebut," katanya.
Pria yang merintis karirnya di industri modal ventura itu juga mengatakan, sumber pendanaan domestik dan asing di sektor e-commerce dan start up digital relatif sudah berimbang. Selain itu, lebih dari 95 persen pemilik dan pekerja di unicorn adalah orang Indonesia.
Ia menjelaskan, penempatan dana melalui modal ventura memang berbeda dengan konsep bisnis konvensional. Pendiri atau inovator dari perusahaan e-commerce dan start up menjadi penopang dari bisnis yang didanai modal ventura.
"Peran pemodal ventura lebih pasif dibandingkan pemodal di bisnis lainnya. Mereka lebih percaya pendiri dan pelaksana bisnis e-commerce sebagai pengendali perusahaan. Investor modal ventura tidak mau membuat pendiri atau inovator dari bisnis e-commerce kehilangan peran," ujar Lembong.
erkait unicorn sendiri, sekitar tiga tahun lalu ia mulai menyadari betapa besarnya arus modal ke industri e-commerce dan startup. Saat itu, tiba-tiba muncul banyak berita-berita ada perusahaan start up yang mendapat suntikan dana dengan nilai triliunan.
"Kalau dijumlah besar sekali, tapi di BKPM tidak ada datanya. Mayoritas pendiri e-commerce adalah anak-anak muda yang kebanyakan tidak tahu bahwa ada prosedur pendaftaran di BKPM. Pertumbuhan arus modal unicorn begitu cepat, terus terang kita kewalahan untuk memonitor dan tracking," ujar Lembong.
Selain dinamisnya data modal masuk untuk e-commerce dan startup, ia juga mengatakan struktur finansial e-commerce dan startup juga cukup rumit di mana antar kendali usaha dan modal yang disetor dibedakan.
"Strukturnya cukup ruwet dan menganalisis ini semua tidak gampang," katanya.
Berdasarkan data BKPM, rata-rata total investasi langsung asing (Foreign Direct Investment/FDI) setiap tahunnya mencapai 9 miliar dolar AS sampai 12 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, investasi yang masuk ke e-commerce dan startup sekitar 15-20 persen dari total FDI tersebut.
"Jadi sekitar 2 sampai 2,5 miliar dolar per tahun total perkiraan kami masuk ke e-commerce dan startup company," ujar Lembong.
Di Indonesia, ada empat unicorn atau startup yang memiliki valuasi di atas 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp14 triliun yakni Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019