Jakarta (ANTARA News) - Pedagang atribut kampanye di Pasar Senen, Jakarta Pusat, menilai peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang kampanye, menjadi pemicu turunnya penjualan alat peraga kampanye (APK) Pemilu 2019.

"Sejak adanya aturan KPU itu pendapatan berkurang yah dibanding penyelenggaraan Pemilu dua periode sebelumnya," ujar salah satu penjual atribut kampanye di Blok V Pasar Senen, Juju Amir (41), Selasa.

Dalam peraturan yang dimaksud secara garis besar, KPU memfasilitasi pembuatan dan pemasangan alat peraga kampanye. Pemasangan baliho/billboard/videotron maksimal lima buah untuk setiap kabupaten/kota, umbul-umbul dibatasi 20 buah setiap calon setiap kecamatan, dan spanduk sebanyak dua buah untuk setiap desa/kelurahan.

Dengan adanya peraturan ini, para calon maupun tim pemenangan tidak boleh memproduksi alat peraga kampanye secara massif. Hal itu berimbas pada pedagang tidak bisa meraup untung lebih, berbeda seperti pada pemilu 2009 dan 2014.

Menurut Juju, ia hanya mengandalkan penjualan dari kaus dan asesoris seperti kalender, pin, stiker, dan kartu nama.

"Saya berdagang sudah melewati tiga kali pemilihan, sekarang kerasa pengurangannya beda dengan dulu-dulu," kata dia.

Saat Pemilu 2009 dan 2014, ia mampu memperoleh laba bersih hingga Rp500 juta. Namun pada Pemilu kali ini, baru tercapai 20 persennya saja dari penghasilan sebelumnya.

"Sekarang Rp100 juta aja sudah alhamdulillah. Padahal sekarang serentak dengan Caleg harusnya untung lebih gede," kata dia.

Kondisi serupa juga terjadi di Pasar Senen Blok III. Pasar yang baru rampung dibangun pada 2018 akibat kebakaran ini, terlihat sepi terutama di lantai I pusat penjualan kaus.

Para pedagang atribut kampanye hanya terlihat duduk-duduk di sekitar lapak dagangannya. Sebagiannya lagi tengah mengemas pesanan untuk dikirimkan. Meski lebih luas dan rapi dibanding Blok V, namun aktifitas tak begitu ramai.

Pemilik toko penjual atribut kampanye di Blok III lantai I, Pasar Senen, Yasmi (63), mengatakan pengurangan akibat aturan KPU tersebut sangat signifikan.

Semula, rumah produksi Vebby Tarizao Prestasi itu mampu menyelesaikan pemesanan 50 ribu kaus pada Pemilu 2014, kini baru bisa memperoleh 20 ribu pemesanan.

"Yah lesu kali ini mah. Tapi gimana lagi itu udah ada aturan laporan keuangannya," kata dia.

Pada pemilu sebelumnya, ia menerima 10 karyawan untuk bertugas sebagai penjahit dan administrasi. Namun kali ini beberapa di antaranya harus di rumahkan.

"Dulu saya bisa umrah, beli mobil, bikin produksi sendiri. Sekarang yah sebagiannya diberhentiin dulu. Nanti kalau pesenan banyak saya panggil lagi," kata dia.

Pembeli sekaligus calon legislatif DPRD Dapil 1, Kabupaten Jayawijaya dari partai Golkar, Hironimus Huby, yang ditemui di Blov V Pasar Senen mengaku pembatasan ini memiliki sisi positif dan negatif.

Menurut Huby, dari satu sisi pengeluaran dana dari para calon akan terawasi oleh KPU sehingga potensi penyimpangan anggaran semakin sedikit. Namun di sisi lain, aturan tersebut belum mampu mengakomodir sosialisasi terutama di daerah-daerah yang memiliki wilayah luas.

"Kami di pegunungan karena satu distrik dengan distrik yang lain jauh, jadi perlu usaha lebih untuk mengenalkan program visi-misi kami," kata dia.

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2019