Jakarta (ANTARA News) - Hari-hari terakhir Ramadhan 1428 H seperti ditakdirkan menjadi saksi perubahan status Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA seutuhnya menjadi perusahaan umum melalui penunjukan dan pelantikan Dewan Pengawas dan Dewan Direksi baru oleh Menteri Negara BUMN di Jakarta, Rabu, 10 Oktober 2007. Sebanyak empat orang Dewan Pengawas dan empat anggota Dewan Direksi resmi memimpin Perum LKBN ANTARA setelah surat pengesahan Perum ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 18 Juli 2007. Secara resmi, ANTARA berubah orientasi menjadi sebuah perusahaan yang kental berbisnis. Keempat Dewan Pengawas itu mantan PU/Pemred ANTARA Asro kamal Rokan, Sambas Mulyana dari Ditjen Anggaran Depkeu, Dwijanti Tjahjaningsih dari Kementerian Negara BUMN, dan Henry Subiakto dari Depkominfo Sedangkan Dewan Direksi Perum LKBN ANTARA adalah Dr Ahmad Mukhlis Yusuf (41) sebagai Direktur Utama, Ir. Rully Charmeianto Iswahyudi (37) sebagai Direktur Pemasaran, Drs. M Saiful Hadi (49) sebagai Direktur Pemberitaan dan Keuangan, dan Drs. Rajab Ritonga, MSi (48) sebagai Direktur Umum dan SDM. Perubahan status badan hukum LKBN ANTARA menjadi perusahaan umum tidak lepas dari kerja keras Asro Kamal Rokan, pria kelahiran Asahan, Sumatera Utara, 24 Desember 1960 yang menjabat sebagai Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA 12 Juli 2005- 10 Oktober 2007. Sebulan pertama resmi di ANTARA, mantan Pemred HU Republika ini menyadari terdapat sejumlah hal harus mengalami perbaikan, antara lain status ANTARA yang tidak jelas berdasarkan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers mengakibatkan ANTARA sulit berbisnis. Kesulitan ini berujung kepada tidak stabilnya keuangan LKBN ANTARA. LKBN ANTARA diambil alih Pemerintah berdasarkan Keppres No.307 tahun 1962 dari Yayasan Kantor Berita ANTARA. Pada tahun 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres Nomor 85/1966. Dalam Keppres tersebut, asas ANTARA adalah sosialisme yang berdasarkan Pancasila dengan fungsi alat revolusi. Keppres itu juga menyatakan 60 persen anggaran ANTARA ditanggung pemerintah, namun realisasinya tidak demikian. Sejak berdiri, ANTARA relatif menanggung biaya untuk dirinya sendiri. Keterlibatan pemerintah memang ada, namun bukan biaya operasional. Biasanya pemerintah membantu pembangunan teknologi informasi ANTARA.Upaya pembenahan Dalam pertemuan perdana dengan seluruh karyawan pada 3 Agustus 2005, Asro menghadapi kondisi pengeluaran ANTARA per bulan sebesar Rp2,87 milyar yang habis untuk pengeluaran gaji personel yang mencapai Rp1,17 milyar, kendaraan operasional Rp36 juta, keperluan kantor Rp216 juta, perjalanan dinas Rp90 juta. "Saya jadi bertanya berapa uang ANTARA sebenarnya?" kata Asro yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Harian Merdeka. Ketika awal memimpin, posisi keuangan per 12 Juli 2005 sebesar Rp11,1 milyar. "Dengan uang sebesar itu dan keadaan kita defisit, berapa bulan lagi ANTARA dapat bertahan?" kata Direktur Program Kajian Pers PWI Pusat itu. Mengatasi kondisi memprihatinkan tersebut, Asro bergegas ke Dirjen Pajak ketika itu Hadi Purnomo mengurus restitusi pajak untuk ANTARA dan diperoleh dana sebesar RP14,2 milyar. Ke dalam, Asro pun mencanangkan tiga program, yakni pembenahan sistem kerja, pembuatan status badan hukum, dan pengambilalihan Wisma ANTARA. Sementara untuk perolehan dana dari Daftar Isian Proyek dan Anggaran (DIPA) usaha Asro menumbuhkan peningkatan yang cukup berarti bagi kemajuan ANTARA. Bila hingga 2005, ANTARA menerima rata-rata Rp8 Milyar melalui DIP (Daftar Isian Proyek) untuk investasi teknologi, pada APBN 2006, DIPA ANTARA mengalami peningkatan menjadi Rp32,4 milyar dan tahun 2007 sebesar Rp54,7 milyar. Sedangkan untuk biaya operasional dan gaji pegawai (810 orang) berasal dari usaha ANTARA sendiri. Sebesar 65 persen dari pendapatan ANTARA berasal dari Kerjasama Operasional (KSO) dengan Reuters (Inggris), Bloomberg (AS) dan Kantor Berita Asing (KBA) antara lain AFP (Perancis), sisanya hasil murni melalui penjualan berita dan foto. Dua tahun berlalu dan pada 16 Agustus 2007 pada pertemuan terakhir dengan karyawan saat menyampaikan sosialisasi Perum LKBN ANTARA, Asro menyampaikan laporan bahwa ANTARA telah memiliki status badan hukum sebagai Perum sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2007 yang ditetapkan 18 Juli 2007 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Perum itu menurut istilah saya merupakan KTP. Sekarang, kita sudah jelas mempunyai KTP, selama ini kita tidak mempunyai KTP. Pendapatan sulit didongkrak karena kita tidak bisa mengembangkan bisnis. Departemen-departemen punya uang banyak untuk sosialisasi, tetapi ANTARA tidak bisa ikut melakukan tender itu dan yang bisa hanya kegiatan yang bernilai di bawah Rp50 juta. Karena sesuai ketentuan setiap pengadaan yang di atas Rp50 juta harus melalui tender," katanya. Dengan adanya status badan hukum tersebut, menjadi "tarikan nafas" bagi ANTARA untuk mendapatkan Wisma ANTARA yang hingga kini masih dikelola oleh PT ANPA Internasional yang dimiliki Mulia Group. Dalam pertemuan tersebut, Asro mengisyaratkan pamit. "Masa kepengurusan direksi sekarang, tinggal beberapa minggu saja. Dalam kaitan itu, saya berharap untuk kemajuan ANTARA ke depan, tolong siapa pun yang terpilih menjadi direksi, tolonglah didukung agar program-program dapat berjalan baik," katanya. Asro, yang terpilih sebagai Presiden OANA (Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik) tersebut berharap seluruh komponen di ANTARA bersama-sama bergerak ke depan, tidak untuk pribadi, melainkan untuk Lembaga ini. "Bayangkan kalau konflik terus terjadi bagaimana kita mempertanggungjawabkan pada adik-adik kita yang masih tinggal di sini, pada karyawan dan keluarganya," kata Asro yang pada saat memimpin ANTARA dapat memperjuangkan kenaikan gaji karyawan, setelah hampir lima tahun tidak pernah naik. "Sekarang bagaimana ANTARA ke depan, ada di tangan kita semua. Mau dibikin apa, tidak ada yang bisa membantu diri kita kalau tidak kita yang melakukannya. Jalan telah diberikan, percuma jalan itu diberikan kalau kita tidak bergerak," kata Asro menambahkan. Dalam kalimat pengandaian, Asro menuturkan, "Kita mulai dari Km 0, kita bisa mencapai 100 Km, 1000 Km, akan ditentukan pada langkah pertama. Kalau sudah ogah-ogahan, kita semua tidak akan kemana-mana. Mari kita sama-sama bergerak dari Km 0, kita melangkah, dengan ridho Allah kita bisa mencapai Km 1000 bahkan lebih". (*)

Oleh Oleh Budi Setiawanto dan Prima
Copyright © ANTARA 2007