Jakarta (ANTARA News) - Pakar Komunikasi Politik Lely Arriani berharap lebih banyak lagi masyarakat menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019 sehingga partisipasi politik masyarakat pada pemilu dapat meningkat.

"Pemilu 2019, adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden yang diselenggarakan secara serentak pada 17 April mendatang. Saya harapkan, masyarakat lebih banyak lagi menggunakan hak pilihnya," kata Lely Arriani pada diskusi "Empat Pilar: Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin.

Lely Arriani melihat, tingkat dukungan masyarakat kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden maupun calon anggota legislatif (capres-cawapres maupun caleg), sangat tinggi di media sosial, sejak 2014. "Bahkan, di antara pengguna media sosial, ada sampai bertengkar dan saling hujat untuk mendukung dan membela calonnya," katanya.

Lely menambahkan, perdebatan soal dukungan tersebut juga sering terjadi dalam grup whatsapp, hingga ada teman yang sampai di delete dari grup. Namun, Lely melihat, maraknya dukungan di media sosial itu adalah partisipasi adalah partisipasi politik semu. "Karena realitasnya pemilih yang berpartisipasi menggunakan hak politiknya hanya sekitar 70-an persen," katanya.

Dosen pada beberapa perguruan tinggi di Jakarta ini menilai, pemilu 2019, agak berbeda dengan pemilu 2019. Pada pemilu 2019, pileg dan pilpres diselenggarakan secara serentak, sedangkan pada pemilu 2014 pileg dan pilpres diselenggarakan secara terpisah.

Pada kesempatan tersebut, Lely juga mengutip teori budaya politik. Menurut Almond dan Verba, bahwa budaya politik parokial, itu anak-anak hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin tradisional. Jika melihat pergeseran peta dari pemilu ke pemilu, terutama di media sosial, menurut dia, budaya politik parokial di mana masyarakat menerima apa saja yang dikatakan pemimpin, lalu mereka tidak ingin ikut serta.

"Saat ini budaya parokial itu tidak ada lagi, masyarakat seolah ingin ikut serta. Perkembangan saat ini, masyarakat seolah ingin turut berpartisipasi melalui media sosial. Perdebatan di media sosial terjadi saling debat seperti berbalas pantun," katanya.

Menurut Lely, kedua kedua visi capres-cawapres ini berkolaborasi, kemudian diakomodasi oleh UU Pemilu dan UU Pilkada, maka model budaya seperti itu kemudian bergeser. Kondisi masyarakat di Jawa dan daerah lainnya, berbeda dengan kondisi masyarakat di Papua yang menerapkan sistem noken, dimana suara masyarakat dipercayakan kepada pemimpinnya.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019