Tujuan Sistem Paralel ini disamping dalam rangka pembangunan demokrasi juga bisa menghentikan `money politic`. Di mana dengan sistem ini maka partai politik akan berkampanye, tidak seperti sekarang calonnya berkampanye masing-masing

Bandung (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Bawaslu RI, Gunawan Suswantoro, menawarkan formulasi Sistem Pemilu Paralel atau Mixed Member Majoritharian (MMM) untuk menggantikan sistem proporsional terbuka yang selama ini digunakan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.

"Dari hasil penelitian itu, saya mencoba mengusulkan Sistem Pemilu Paralel, yakni saya berhasil menemukan 12 persen untuk dapil yang majoterial sedangkan 88 persen proporsional. Konsep yang saya bangun ini saya berharap secara akademik bisa meningkatkan kualitas Pemilu," kata Gunawan Suswantoro, di Bandung, Senin.

Gagasan Gunawan tersebut disampaikan olehnya dalam sidang terbuka disertasinya di Gedung Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran di Kota Bandung Gunawan sebagai kandidat doktor ilmu politik Unpad ini memaparkan disertasinya yang berjudul "Implikasi Sistem Pemilu Terhadap Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan Sistem Presidensial Pada Era Susilo Bambang Yudhoyono."

Menurut dia, Sistem Pemilu Paralel tersebut bisa meningkatkan kualitas Pemilu sehingga politik uang akan berkurang dan biaya penyelenggaraan Pemilu turun 60 persen dari anggaran saat ini.

"Tujuan Sistem Paralel ini disamping dalam rangka pembangunan demokrasi juga bisa menghentikan `money politic`. Di mana dengan sistem ini maka partai politik akan berkampanye, tidak seperti sekarang calonnya berkampanye masing-masing," katanya.

"Ini usulan akademik dan saya berharap, ide ini bisa ditangkap oleh pemerintah dan DPR dalam rangka memperbaiki sistem Pemilu di Indonesia serta bisa diterapkan pada Pemilu 2024," lanjutnya.

Pada disertasasinya, ia memaparkan bahwa meskipun rezim pemerintahan berganti seiring perubahan elite politik yang terjadi melalui Pemilu namun relasi yang kompleks antara presiden dan DPR terus berulang.

"Setelah melakukan penelitian dua periode pemerintahan SBY, dengan sistem pemilu proporsional, seperti kita ketahui bahwa sistem proporsional terbuka telah membawa dampak terutama partai politik jadi tidak konsen terhadap organisasinya. Kedua, terbukti bahwa inilah ladang politik uang. Kalau ini diteruskan, Indonesia akan mengarah kepada keterpurukan mental dari bangsa Indonesia," katanya.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisisnya, sistem pemilu proporsional terbuka yang selama ini dipakai diduga sebagai faktor utama dari kompleksitas relasi antara Presiden dengan DPR, terutama dalam persetujuan kebijakan.

Kondisi ini, katanya, tampak jelas terjadi pada dua periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam hasil penelitian disertasi ini, Gunawan menemukan empat hal penting pertama diantara pemilu 1999-2014, bisa dikatakan sistem pemilu 2009 yang paling tidak proporsional.

Indeks Least Square Pemilu 1999 menunjukkan angka 3,19, disusul Pemilu 2004 di angka 4,16, Pemilu 2009 sendiri di angka 6,15 dan terakhir Pemilu 2014 di angka 2,45.

Semakin besar angka menunjukkan bahwa sistem pemilu semakin tidak proporsional dan dalam sistem proporsional terbuka jumlah peserta Pemilu banyak dengan metode konversi suara melalui Kuota Hare dan Suara Habis Dibagi di provinsi atau dapil.

Ketiga, jumlah partai dalam parlemen melebihi ENPP, misalkan pada Pemilu 2004 angka ENPP sebesar 7,08, artinya hanya 7 dari 16 partai yang efektif mempengaruhi kebijakan sedangkan 9 partai sisanya tidak efektif memengaruhi kebijakan.

Lebih lanjut ia mengatakan Sistem Pemilu paralel atau Mixed Member Majoritharian (MMM) menggantikan sistem proporsional terbuka dan merupakan pencampuran dari majoritharian (distrik) dan proporsional daftar baku.

"Konsep yang sebangun dengan seperti itu saya sangat berharap mudah-mudahan secara akademis ini akan mampu meningkatkan kualitas Pemilu sehingga akan sangat berkurang politik uang," lanjutnya.

Gunawan mengatakan majoritharian dengan proporsi 18 persen proporsional daftar baku dengan proporsi 82 persen dari 575 kursi di DPR. Mekanisme pencalonan proporsional dengan daftar baku, pertama akan memberikan ruang otoritas bagi partai politik untuk menentukan bakal calon legislatif yang akan duduk di DPR.

Kedua, sistem pemilu ini memunculkan kebutuhan pengaturan ulang daerah pemilihan (dapil) DPR RI.

Berdasarkan proporsi pembagian jumlah kursi 18 persen majoritharian dan 82 persen proporsional daftar baku, serta untuk mempertemukan jumlah kursi (district magnitude) antara dua sampai enam di setiap daerah pemilihan, maka dibutuhkan sebanyak 106 daerah pemilihan.

Ketiga, Penentuan district magnitude dua sampai enam diharapkan dapat menyederhanakan jumlah partai politik yang masuk di DPR sehingga diharapkan partai politik di DPR yang efektif mempengaruhi pembahasan kebijakan dapat terwujud dan pada gilirannya akan mengefektifkan berjalannya pemerintahan.

Keempat, Metode konversi suara menjadi kursi dengan menggunakan metode Sainte Lague Modifikasi (Divisor 1,4; 3; 5; 7; dan seterusnya). Penggunaan metode ini diharapkan dapat mendorong upaya penyederhanaan partai politik dengan cara yang lebih moderat.

Selain itu, metode ini memberikan insentif terhadap partai besar, namun masih memberi ruang bagi partai menengah untuk dapat terpilih menjadi bagian dari lembaga legislatif.

Kelima, metode coblos sebagai cara menghindari kesalahan pemilih dalam memilih sehingga banyak suara yang hilang karena dianggap tidak sah.

Keenam, Berkaitan dengan waktu penyelenggaraan pemilu, Gunawan mengusulkan pelaksanaan pemilu serentak secara nasional untuk pemilihan Presiden, DPR, dan DPD.

Sedangkan pemilu di daerah dilaksanakan serentak untuk memilih gubernur, bupati/wali kota, dan DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang diselenggarakan dalam waktu 30 bulan setelah pelantikan Presiden.

Pilihan jeda waktu 30 bulan didasari alasan agar Presiden terpilih dapat menjalankan sebagian besar dari programnya terlebih dahulu.

Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019