Ibarat kata orang Betawi. “MRT sudah nongol neh…nyok bareng-bareng mengurangi polusi udara di Jakarta kite”.

Jakarta (ANTARA News) - Sudah jadi pengetahuan umum bahwa di kawasan kota yang padat dan sibuk, memiliki kadar polusi udara yang buruk.

Polusi udara bersumber dari berbagai hal, yang pada umumnya hasil dari sisa pembakaran yang tidak sempurna. Bisa dari hasil proses industri, gas buang kendaraan bermotor, pembakaran sampah, atau dampak dari kebakaran hutan dan lahan.

Di perkotaan, sekitar 90 persen polusi udara dihasilkan dari emisi gas buang kendaraan dikarenakan padatnya lalu lintas kota akan kendaraan bermotor. Semakin padat lalu lintas yang dijejali kendaraan bermotor setiap hari, semakin buruk kualitas udara di kota itu hampir sepanjang hari.

Setidaknya udara bersih masih dapat dinikmati di kota Jakarta asalkan belum banyak kendaraan bermotor yang berlalu lalang, yaitu saat sebelum terbit matahari. Polusi udara mulai membuat sesak saat jam berangkat kerja di pagi hari, bertambah saat siang, dan terakumulasi sempurna di jam pulang kerja sore hari.

Jumlah total kendaraan bermotor di Indonesia naik secara signifikan sejak hampir dua dekade terkahir. Mulai hanya sekitar 20 juta kendaraan pada 1999, menjadi sekitar 130 juta pada 2017 dengan 110 juta di antaranya adalah sepeda motor.

Kendaraan terjebak kemacetan ketika melintasi proyek pembangunan MRT di Kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Kamis (19/3/2015). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/pras.

Data dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menyebutkan jenis polutan partikel debu atau particulat matter (PM) dengan ukuran lebih kecil dari 10 mikrometer (mikron) atau lebih kecil dari 2,5 mikrometer hanya turun sedikit sejak 2012 hingga 2017.

Rata-rata kadar PM 10 di udara Jakarta sekitar 60-70 mikrogram/meter kubik dan PM 2,5 sekitar 30-40 mikrogram/meter kubik. Sementara standar ambang batas kadar PM 10 menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ialah 50 mikrogram/meter kubik dan 25 mikrogram/meter kubik untuk PM 2,5.
Baca juga: Presiden pastikan MRT Jakarta beroperasi Maret 2019

Data dari KPBB menunjukan kualitas udara di Jakarta pernah dalam kategori sangat tidak sehat dan tidak sehat pada 2012 hingga akhirnya menurun sejak 2014 hingga 2017. Kendati demikian, udara di Jakarta dikategorikan sehat hanya terjadi sekitar 50 hari dalam setahun. Sementara sisanya lebih banyak dikategorikan moderat dan tidak sehat.

Beberapa jenis polutan yang bersumber dari kendaraan bermotor seperti karbon monoksida (CO); nitrogen dioksida (NO2); hidrokarbon (HC); partikel debu yang terdiri dari PM 10 dan PM 2,5; dan timah hitam (Pb).

Dampak Kesehatan

Menurut panduan parameter pencemar udara dan dampaknya bagi kesehatan yang diterbitkan Kementerian Kesehatan tahun 2001 menyebutkan polutan yang bersumber dari kendaraan bermotor tersebut amat berbahaya bagi kesehatan.

CO dapat mempengaruhi saluran oksigen dalam darah dan mengakibatkan kerusakan otot jantung serta susudan saraf pusat yang bisa berkaitan dengan penyakit kardiovaskular. Pajanan NO2 berlebih dapat berakibat pada pembengkakan paru serta kesulitan bernapas, Pb dapat menyebabkan gejala keracunan akut dan kronis, menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada sebagian partikel debu, dan bahkan merangsang terbentuknya sel kanker bila terpajan HC dan PM 2,5.
Baca juga: MRT fase 1 kurangi emisi 85.680 ton CO2
Baca juga: MRT ditargetkan tampung 60 ribu penumpang per hari

Masinis kereta Mass Rapid Transit (MRT) melakukan uji coba di Jakarta, Kamis (17/1/2019). Jelang peresmian MRT yang akan dilaksanakan pada Maret 2019 tersebut masyarakat dapat mencoba secara gratis moda transportasi itu mulai 27 Februari. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)


Ketua Departemen Paru Fakultas Kedokteran UI RSUP Persahabatan DR dr Agus Dwi Susanto Sp.P(K), FAPSR, FISR mengatakan saat ini salah satu yang menjadi pembahasan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa kanker bisa muncul karena dampak dari polusi udara.

Polutan yang paling berpengaruh terhadap penyakit kanker ialah particulat matter (PM) 2,5 atau partikel debu dengan ukuran di bawah 2,5 mikron yang bisa masuk ke dalam organ-organ dalam tubuh manusia.

Partikulat debu merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa kimia organik dan anorganik yang tersebar di udara dengan diameter teramat kecil.

Agus mengatakan partikel berukuran 10 mikron bisa masuk dan mengiritasi bagian hidung atau saluran pernapasan atas lainnya sehingga menyebabkan ISPA. Namun apabila ukurannya lebih kecil dari 5 hingga 2,5 mikron bisa masuk ke paru-paru dan ke dalam darah.

Apabila partikulat matter (PM) dengan ukuran 2,5 mikron terhirup oleh saluran napas dan secara terus menerus, akan merangsang terjadinya perubahan sel yang ada di dalam saluran napas dan paru dari yang normal menjadi abnormal sehingga menyebabkan kanker.

Penyakit jangka pendek atau yang bisa langsung berdampak pada kesehatan (akut) bila terpajan oleh polusi paling banyak ialah ISPA. Namun yang lebih berbahayanya jika seseorang terpajan polusi udara secara terus menerus setiap hari, maka berpotensi terkena penyakit kronik seperti penurunan fungsi paru, kardiovaskuler seperti penyakit jantung, asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan bahkan meningkatkan risiko terjadinya kanker paru.

Berdasarkan data internasional, sekitar 3-5 persen penderita kanker paru berhubungan dengan polusi udara. Bahkan data hasil penelitian di RSUP Persahabatan pada 2013 terhadap 300 penderita kanker paru yang terbukti, sebanyak 4 persen pasiennya biasa terpapar polusi udara.

"PM 2,5 kalau terhirup dari saluran napas, selama kontinyu dia akan merangsang terjadinya perubahan sel yang ada di dalam saluran napas dan paru dari yang normal menjadi abnormal, terjadilah dia kanker," kata Agus.

MRT kurangi polusi

Selain mengurangi potensi penyakit akibat pencemaran udara dengan menjaga tubuh tetap sehat dan menjauhi polutan, mengurangi sumber polusi juga menjadi salah satu cara agar manusia bisa hidup lebih sehat di perkotaan.

Sebanyak 90 persen polutan diperkotaan bersumber dari kendaraan, oleh karena itu penggunaan kendaraan pribadi di perkotaan mau tidak mau harus dikurangi. Gunakan transportasi publik yang sifatnya massal seperti bus, kereta, dan Mass Rapid Transit (MRT) yang dalam waktu dekat akan mulai dioperasikan di Ibu Kota.
Baca juga: MRT dinilai jadi tren moda transportasi Jakarta

Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah) didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kiri) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) saat meninjau pengoperasian MRT (Mass Rapid Transit) di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Rabu (20/2/2019). Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan keberadaan MRT diharapkan dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta yang kerugiannya ditaksir mencapai Rp100 Triliun. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/hp.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengatakan MRT atau Moda Raya Terpadu Jakarta fase 1 yang melintasi Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel Indonesia diperkirakan akan mengurangi emisi hingga 85.680 ton karbon dioksida (CO2) per tahun.

Angka tersebut didapat dengan memperhitungkan sumbangan emisi CO2 dari 175 ribu orang yang melintasi jalur MRT Jakarta fase 1 saat ini, yaitu 64.260 ton per tahun dari sepeda motor dan 107.100 ton per tahun dari mobil (total 171.360 ton CO2). Sementara pengoperasian MRT Jakarta fase 1 sepanjang 16 kilometer diperkirakan akan menghasilkan emisi sebesar 85.680 ton CO2 per tahun.

Namun upaya pengurangan emisi secara besar-besaran dengan mengalihkan penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik massal perlu kesadaran dari setiap individu masyarakat.

Budaya masyarakat mau tidak mau harus berubah. Indonesia yang terus berkembang dan bercita-cita menjadi negara maju harus dibarengi dengan perubahan dari sisi sumber daya manusianya.
Baca juga: Dubes UE: MRT Jakarta lebih modern dari MRT Eropa
Baca juga: Ini kata pengamat tentang konsep MRT yang benar

Masyarakat Indonesia, terlebih warga DKI, harus mengubah kulturnya dari budaya masyarakat negara berkembang menjadi masyarakat yang maju tanpa harus mengorbankan lingkungan atau kesehatan dirinya sendiri.

Tentu, hadirnya MRT di Jakarta tidak serta merta secara signifikan mengurangi polusi udara di kawasan ini.

Solusi mengurangi polusi udara harus dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan, mulai dari memperluas jaringan MRT, membatasi izin bagi angkutan umum kecil, memperbanyak kendaraan angkutan massal seperti bus dan kereta api.

Kemudian, kontrol terhadap jumlah kendaraan pribadi yang dibarengi perbaikan keamanan dan kenyamanan angkutan umum, uji emisi berkala, pembatasan usia kendaraan terutama angkutan umum, hingga penanaman kembali pohon-pohon di sekitar lalu lintas kendaraan.

Ibarat kata orang Betawi. “MRT sudah nongol neh…nyok bareng-bareng mengurangi polusi udara di Jakarta kite”.

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019