Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia dan warga di sejumlah desa yang terdampak di Provinsi Jambi menginginkan agar pemerintah menuntaskan konflik agraria dengan PT BBS yang bergerak di perkebunan sawit.
"Sejak 12 silam, persoalan konflik tanah yang muncul sampai saat ini belum terselesaikan," kata Direktur Eksekutif Walhi Jambi Rudiansyah dalam konferensi pers di Kantor Eksekutif Nasional Walhi, Jakarta, Kamis.
Dia menuturkan ada 495 kepala keluarga yang kehilangan atas tanahnya seluas 1.373,4 hektare berasal dari Desa Seponjen, Dusun Pulao Tigo, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung, yang sampai saat ini masih dalam penguasaan PT BBS.
"PT BBS hingga saat ini belum memiliki HGU (Hak Guna Usaha) tetapi sudah melakukan aktivitas perkebunan bahkan sudah melakukan produksi," ujarnya.
Pada 2007, PT BBS mendapatkan izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan Nomor 507 Tahun 2007 tertanggal 27 September 2007 seluas 1.000 hektare di Desa Seponjen Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Kemudian, PT BBS mendapatkan izin lokasi di Kelurahan Tanjung berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 2011 tertanggal 31 Januari 2011 seluas 1.000 hektare.
Rudiansyah menuturkan dari hasil pelacakan mereka, PT BBS itu dimiliki pengusaha lokal yang berdomisili di Medan. PT BBS itu tidak berafiliasi dengan grup perusahaan besar.
Warga setempat telah melakukan aksi demonstrasi, namun belum ada respon dari PT BBS untuk penyelesaian konflik. Bahkan, belum lama ini, warga dari berbagai desa itu melakukan demo selama lima hari berturut-turut di area lahan yang diusahakan PT BBS itu, namun juga belum ada respons solutif dari perusahaan bersangkutan.
Dia mengatakan warga setempat berharap tidak ada proses kriminalisasi oleh aparat keamanan dan perusahaan ketika mereka melakukan aksi berlanjut itu.
Perwakilan masyarakat Desa Seponjen, Budiman, mengatakan lahan yang diusahakan PT BBS itu merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat.
"Sebelum tahun 2007 lokasi masih untuk masyarakat di lokasi tersebut mencari nafkah, dari situ mengambil hasil hutan berupa rotan dan pandan, nyadap karet karena sebagian lahan sudah ada tanaman karet dan jelutung, ada juga sungai tempat masyarakat mencari ikan," tuturnya.
Namun sejak pengusahaan lahan oleh PT BBS, masyarakat setempat kehilangan sumber penghidupan mereka yang bergantung pada lahan dan hutan itu. Lokasi itu sebagai sumber pertanian masyarakat di mana warga menanam tanaman pertanian seperti jagung dan nanas, namun sekarang tidak ada lahan yang bisa mereka kelola untuk kehidupan mereka.
"Dampak kerugian bagi masyarakat sangat begitu besar dahalu mereka bisa membiayai anak sekolah, menyambung sekolah anak ke perguruan tinggi dan dimulai 2007 sudah tidak ada lagi," ujarnya. Sebelum perusahaan ini masuk, lahan itu sebagai sumber pertanian masyarakat dengan menanam jagung dan nanas
Warga dari Kelurahan Tanjung, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Saidi mengatakan jalan yang dibangun PT BBS yang dulunya bisa dilewati masyarakat dengan bebas sekarang dipagar sehingga tidak bisa dilewati.
"Mereka (PT BBS) masa bodoh sama masyarakat. Masyarakat diintimidasi oleh mereka," ujarnya.
Saidi mengatakan akibat akses jalan yang ditutup itu, dia tidak mampu mengelola lahan karetnya seluas satu hektare. "Kebun terlantar karena akses jalan tidak boleh lewat," lanjutnya.
Akibatnya dia kehilangan sumber penghidupan dari kebun karet, dan kini beralih berdagang air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, meskipun pendapatannya masih jauh dari cukup.
Juru Kampanye Nasional Walhi Edo Rakhman mengatakan konflik agraria di Provinsi Jambi dan di seluruh Indonesia juga merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikannya.
"Jangan hanya lihat keuntungan yang diperoleh dari korporasi tapi juga melihat kerugian yang diderita masyarakat," ujarnya.
Atas kondisi tersebut, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi Boy Evan Sembiring menyampaikan Walhi mendesak pemerintah untuk menghentikan aktivitas perusahaan PT BBS yang tidak memiliki HGU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemegang izin lokasi berdasarkan Surat Keputusan dari bupati Muaro Jambi dan Izin Usaha Pertambangan-Budidaya dari Bupati Muaro Jambi tidak dapat dibenarkan melakukan aktivitas apapun sebelum terbitnya HGU.
Kedua, menjatuhkan sanksi hukum baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi terhadap aktivitas PT BBS sejak diberikannya izin lokasi pada 27 September 2007.
Ketiga, menjatuhkan sanksi adminitrasi negara yaitu pencabutan izin lingkungan yang telah diberikan kepada PT BBS pada 9 Desember 2016.
Keempat, menjatuhkan sanksi berupa biaya pemulihan akibat dari terbakarnya areal tersebut pada 2015, terhadap areal yang dilindungi seperti Pematang Kapas, Pematang Semeleng, Sungai Buayo dan Batang Cengal.
Kelima, membebankan PT BBS untuk membayar kerugian yang telah diderita oleh masyarakat Desa Seponjen, Dusun Pulao Tigo, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Provinsi Jambi karena penguasaan lahan yang dilakukan oleh PT BBS.
Baca juga: Walhi dorong pemerintah buka data HGU ke publik
Baca juga: Walhi minta capres-cawapres serius atasi ketimpangan penguasaan lahan dan konflik agraria
Baca juga: Luas lahan sengketa di Riau 283.277 hektare
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019