Jakarta (ANTARA News) - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pengesahan RUU tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2007 tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas menjadi Undang-Undang (UU). Semua fraksi yang berjumlah sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU tersebut dalam rapat paripurna DPR, Selasa, kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). FPDIP menyatakan tetap menolak RUU tentang Perpu No I/2007 menjadi UU karena dinilai penetapan Batam, Bintan dan Karimun menjadi kawasan perdagangan bebas (FTZ) tidak cukup dengan Peraturan Pemerintah turunan UU itu. "Kami berniat mempelopori adanya landasan hukum yang kokoh atas Batam, Bintan, dan Karimun, yakni melalui Undang-Undang," kata anggota fraksi PDIP, Hasto Kristiyanto, saat membacakan pandangan fraksinya. FPDIP akan mengajukan Rancangan UU inisiatif pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)B Batam, Bintan, Karimun (BBK). RUU KEK BBK, lanjut dia, merupakan landasan hukum yang akan memberikan kepastian investasi dan akan terbentuk FTZ yang memperkuat semangat otonomi. "UU itu merupakan landasan yang memungkinkan pengaturan kelembagaan dengan kejelasan urusan pemerintah pusat, pemerintah otonom Kota Batam dan kejelasan mekanisme kerja dengan Otorita Batam," jelasnya. PDIP juga menolak dilakukannya voting dan menyatakan tidak ikut dalam pengesahan UU tersebut. "Dengan demikian kita tidak bertanggung jawab terhadap keputusan UU ini," ujarnya. Meski menyetujui pengesahan UU FTZ, Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) memberikan beberapa catatan dan syarat. "PKS meminta pemerintah untuk sungguh-sungguh melakukan antisipasi setelah disahkannya Perppu menjadi UU," kata anggota FPKS, Refrizal. Anggota DPR dari PAN, Nasril Bahar mengatakan, pemerintah tidak boleh menerbitkan lagi Peraturan Pemerintah tentang FTZ sebelum ada UU KEK.Selain itu, pemerintah harus menyediakan kawasan khusus untuk Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam kawasan perdagangan bebas itu. Sebelumnya, Ketua Komisi VI DPR, Didik J. Rachbini menjelaskan, bahwa dalam pembahasan selama ini ada beberapa isu yang butuh perhatian pemerintah, diantaranya mengenai waktu pembahasan yang kurang dari satu bulan, penafsiran kegentingan yang memaksa dan disharmoni kebijakan. "Perpu FTZ ini dibahas secara efektif dalam waktu kurang dari 1 bulan dari 14 September-4 Oktober dan ini waktu yang singkat untuk menyusun UU, namun Anggota Komisi VI menyadari bahwa FTZ penting untuk menarik investasi," ujarnya. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007