Padang (ANTARA News) - Kementerian Agama wilayah Sumatera Barat berharap kasus kekerasan di pesantren tidak terjadi lagi dan akan memperketat pengawasan lewat Kementerian Agama di kabupaten dan kota.

"Kami akan memperkuat koordinasi dan pengawasan agar tidak ada lagi kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren," kata Kepala Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam Kanwil Kemenag Sumbar Kardinal di Padang, Selasa.

Ia menyampaikan hal itu menanggapi meninggalnya salah seorang santri Pondok Pesantren Nurul Ikhlas RA (18 tahun) yang beralamat di Nagari Panyalaian, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar akibat dikeroyok 17 teman sesama santri secara bergantian selama tiga hari.

Menurut dia terkait kasus ini pihaknya ?turut berduka atas meninggalnya salah seorang santri dan sudah turun langsung ke lapangan.

"Kami tidak ingin lagi ada kasus serupa, karena itu jadikan ini pelajaran," kata dia.

Ia menyampaikan secara prinsip Kemenag tidak bisa memberikan sanksi atas kasus ini kepada pengelola Pesantren Nurul Ikhlas karena berstatus swasta dan sepenuhnya jadi tanggung jawab yayasan.

"Mari perkokoh kembali ukhuwah islamiyah di pondok pesantren," ujarnya.

RA (18), korban pengeroyokan oleh 17 orang teman-temannya sesama santri Pesantren Nurul Ikhlas, Kabupaten Tanah Datar, meninggal dunia pada, Senin (18/2) di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. M. Djamil Padang.

Pejabat Pemberi Informasi dan Dokumentasi (PPID) RSUP Dr. M. Djamil Padang, Gustavianof, menuturkan korban RA telah menjalani perawatan intensif di Ruangan Observasi Intensif Instalasi Anestesiologi Terapi selama delapan hari, akhirnya mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 06.22 WIB.

Sebelumnya Kepolisian Resor Kota Padang Panjang, Sumatera Barat telah memanggil 19 santri Pondok Pesantren Nurul Ikhlas yang diduga melakukan kekerasan terhadap RA hingga tidak sadarkan diri.

"Kami sudah panggil 19 santri dan pihak pondok pesantren koperatif membantu menghadirkan santri-santri tersebut," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Padang Panjang, Iptu Kalbert Jonaidi.

Kasus tersebut pertama kali dilaporkan paman korban ke Polsek X Koto pada Selasa (12/2), dan kemudian dilimpahkan ke Polres Padang Panjang karena berkaitan dengan anak. Rentang usia 19 santri yaitu 15 sampai 16 tahun.

Dari 19 santri yang diduga melakukan kekerasan, belum semuanya yang dimintai keterangan. Namun dari pengakuan santri yang telah dimintai keterangannya didampingi orang tua, tindak kekerasan bermula karena perilaku korban berinisial RA (17) yang mengambil barang santri-santri lain tanpa izin.

Tindakan RA memicu kejengkelan santri lain sehingga melakukan tindak kekerasan yang dilakukan berulang pada malam hari, mulai Kamis (7/2), Jumat (8/2) serta Minggu (10/2).

Setelah pemukulan pada Minggu (10/2) malam, RA tidak sadarkan diri hingga akhirnya dibawa ke RSUD Padang Panjang lalu dirujuk ke RSUP M Jamil Padang.

"Pemukulan dilakukan di kamar asrama putra lantai dua. Kami mengamankan barang bukti sepasang sepatu boot dan tangkai sapu patah yang diduga dipakai untuk menganiaya korban. Kami masih coba kumpulkan barang bukti lain," katanya.

Pengawas Pondok Pesantren Nurul Ikhlas, Firmansyah mengatakan pihaknya mengakui telah kecolongan dalam pengawasan santri sehingga tidak mengetahui ada tindak kekerasan terjadi di kamar asrama putra.

Setiap kamar asrama putra, jelasnya, dihuni oleh delapan santri dan terdapat satu kamar di dalamnya dihuni ustad selaku wali di kamar.

"Memang kami kecolongan dan kami juga sayangkan tindakan santri yang bertindak sendiri menghakimi teman dan baru melapor pada ustad ketika RA sudah tidak sadarkan diri," katanya.

Baca juga: KPAI minta pesantren bertanggung jawab atas pengeroyokan santri
Baca juga: Polisi proses santri pelaku penganiayaan hingga tewas

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019