"Saya pasrah, serahkan sama Allah, serahkan sama yang di atas walaupun aku didzalimi, saya sudah maafkan," kata Kotjo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
PT DKI Jakarta pada 31 Januari 2019 memperberat hukuman 4,5 tahun dan pidana denda sejumlah Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
Putusan itu lebih berat dibanding vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 13 Desember 2018 lalu yang menjatuhkan hukuman 2 tahun 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan bagi Kotjo.
"Ya mau diapain lagi," tambah Kotjo.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim PT DKI Jakarta menilai bahwa perbuatan Kotjo memberikan suap kepada Eni Maulani Saragih selaku Anggota DPR Komisi VII yang membidangi energi telah menciderai rasa keadilan masyarakat yang juga telah mengakibatkan terhentinya proyek Pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-I sebagai bagian dari Power Purchase Agreement (PPA) antara PT PLN dengan konsorsium PT China Huadian Engineering Company Limited (CHEC) Ltd, PT BNR dan PT Pembangkit Jawa Bali (PJBI).
"Menimbang dengan berhentinya proyek pembangunan PLTU MT Riau-1 yang berkapasitas 35 ribu MW sangat merugikan masyarakat pada umumnya dan masyarakat Riau pada khususnya untuk menikmati pengunaan listrik tersebut," kata Hakim.
Apalagi menurut hakim, tindak pidana yang dilakukan Kotjo dilakukan secara sistematik yaitu mulai dari perencanaan, penganggaran sampai pelaksanaan dengan melibatkan orang-orang yang punya posisi penting.
Dalam perkara ini, Johannes Budisutrisno Kotjo dinilai terbukti menyuap anggota Komisi VII DPR RI dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih sebesar Rp4,75 miliar.
Tujuan adalah agar Eni membantu untuk memperlancar pengadaan proyek IPP PLTU Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap, Indragiri Hulu, Riau.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019