Jakarta (ANTARA News) - Pakar Saraf dari Institut Pertanian Bogor, Berry Juliandi, menyampaikan literasi informasi kurang efektif menangkal penyebaran kabar bohong (hoax). Saat ditemui dalam diskusi The Science Behind Hoax, di Jakarta, Senin, dia mengakui pendapatnya itu berbeda dengan opini sejumlah pakar, yang selama ini mengelukan literasi sebagai upaya peredam hoax.
Ia kemudian menjelaskan, salah satu penelitian yang dikeluarkan Yale University menyebutkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin rentan terpapar hoax.
Baca juga: Kabar Perubahan Status Gunung Sinabung, Ini Penjelasannya
Berpegang pada hasil penelitian tersebut, dia kemudian menyimpulkan bahwa upaya literasi bukan langkah tepat memotong rantai hoax.
Menurut dia, metode menurunkan kecemasan dan keraguan seseorang melalui permainan otak, menjadi salah satu alternatif yang bisa digunakan untuk menghalau hoax.
"Misalnya tentang hoax vaksin. Kita tanyakan keraguannya dimana? Setelah tahu alasan seseorang menolak menggunakan vaksin, maka kemudian kita "sentuh" keraguannya dan kecemasannya dengan menyerang amigdala (bagian otak yang bertanggungjawab untuk mendeteksi rasa takut)," ujar dia.
"Caranya dengan kita jelaskan manfaat penggunaan vaksin, kita redam ketakutannya dengan memberi informasi soal anjuran agama terkait vaksin. Jadi informasi ini menyerang amigdala, yang menurunkan ketakutan dan menjadikannya lebih rasional, sehingga yang sulit diterima lebih mudah masuk," ungkap Berry.
Pakar Hubungan Sosial dari Universitas Indonesia, Roby Muhamad, menambahkan salah satu alasan seseorang mudah menerima informasi ialah karena berita yang didapatkan berkaitan dengan harapannya maupun ketakutannya.
Baca juga: Kominfo gandeng Bawaslu dan KPU lawan hoax jelang Pemilu
"Dengan demikian, nilai-nilai yang dibawa dalam sebuah informasi, terkadang membuat penerimanya menjadi tidak rasional," kata dia.
Oleh karena itu, menurut dia, metode "menyerang" amigdala ini menjadi langkah yang patut dicoba untuk memerangi kabar bohong yang kian marak.
"Dengan catatan, kita tidak menyalahkan apa yang diyakini sebelumnya. Karena kalau sudah menghakimi nilai-nilai yang dianut, orang yang terpapar hoax malah akan defensif. Jadi dia tidak mau menerima informasi baru, tidak rasional dan lebih ke emosional," jelas dia.
Pewarta: Agita Tarigan
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019